Selasa, 20 Januari 2015

SEJARAH




Inilah Istana Niat Lima Laras. Sebuah situs peninggalan sejarah masyarakat Melayu pesisir. Istana ini lebih dikenal dengan nama Lima Laras. Meskipun namanya tidak sebesar dan tenar dari Istana Maimun di Medan, namun Istana yang dibangun pada tahun 1907 dan selesai 1912 ini, menyimpan kisah perjalanan dan perjuangan bangsa Indonesia, dimasa penjajahan Belanda. Terutama perjuangan masyarakat Melayu ketika itu.Mengunjungi dan melihat langsung kondisi Istana Lima Laras di Tanjung Tiram, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara seakan berada di masa lalu. Tak heran Istana penuh nostalgia dan kenangan, ini masih dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun manca negara, ketika memasuki hari libur dan hari-hari besar. Menuju Istana Lima Laras butuh waktu lebih kurang 3 jam dari pusat Kota Medan, atau lebih kurang 120 km melalui jalan darat Medan menuju Kabupaten Batubara. Sesampainya disana, kami pun bertemu dengan Amirsyah (35) suami dari Syamsiah (33)) anak ke 2 dari Datuk Muhammad Azminsyah (72), yang merupakan pemangku adat Melayu Istana Lima Laras saat ini. Datuk Muhammad Azminsyah adalah cucu dari pendiri Istana Lima Laras, Datuk Matyoeda, Raja ke XIII  dari Kerajaan Lima Laras. Singkat cerita, sejarah dan awal berdirinya Istana Lima Laras inipun semakin seru untuk ditelusuri.Sesuai dengan namanya, Istana Lima Laras berada di Desa Lima Laras, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batu Bara, Sumatra Utara. Walaupun sedikit terlihat usang, namun Istana Lima Laras masih berdiri kokoh, ditengah keberagaman dan kemajuan zaman saat ini. Bahkan umur Istana inipun telah mendekati 1 abad. Namun sayang istana yang sempat megah disepanjang abad 20 ini, kurang mendapat perhatian serius sebagai situs peninggalan sejarah budaya Melayu dan bangsa Indonesia .

Warna hijau dan sedikit kelihatan kusam pada bangunan Istana Lima Laras, seolah menjadi icon kemegahan Istana. Namun sayang itu hanya sebuah kiasan belaka. Bila kita memasuki bahagian dalam Istana Lima Laras ini, kondisinya sangat memprihatinkan. Lantai dan dinding bangunan Istana masih berbahan kayu, dan hampir sebahagian sudah lapuk tanpa perawatan bahkan rusak termakan usia. Padahal sesungguhnya bangunan Istana ini, sangat  mengagumkan. Hampir keseluruhan bahan bangunan Istana, menggunakan kayu ukiran bernuansa Melayu. Keseluruhan dinding, jendela, dan pintu, bentuknya sangat unik dan menakjubkan karena penuh dengan lukisan dan ukiran yang cantik.

Secara geografis, Istana Lima Laras menghadap ke arah Utara atau menghadap lautan. Istana ini memiliki empat anjungan dari empat arah mata angin. Sepintas bila dilihat dari depan, hampir mirip kapal yang berlayar di laut. Istana Lima Lima Laras memang masih terlihat megah, itu karena Istana ini dibangun dengan empat lantai di dalamnya. Lantai pertama terbuat dari beton, dilengkapi balai dan ruang atau tempat bermusyawarah masyarakat adat Melayu ketika masa pemerintahan Datuk Matyoeda. Di lantai dua, tiga dan empat terdapat sejumlah kamar dengan ukuran sekitar 6 x 5 meter. Kamar-kamar ini biasanya juga digunakan untuk para tamu kerjaan, yang datang berkunjung ke Istana Lima Laras. Sehingga jangan heran kalau Istana termegah di zaman kolonial Belanda ini, paling banyak pintu dan daun jendelanya. Ada sekitar 28 pintu dan 66 pasang daun jendela di Istana ini. Untuk melihat lebih jelas dan detail lagi tentang Istana Lima Laras, kami pun di ajak oleh Amirsyah (35) menantu dari cucu Datuk Matyoeda berkeliling diruangan dalam Istana. Didalam ruangan tengah, terlihat sebuah tangga dengan model berputar yang terbuat dari kayu, tangga ini terlihat begitu indah. Seni ukiran dan model tangga, sudah menggunakan model dari Eropa. Namun 27 anak tangga diruangan Istana, juga masih berbahan dasar kayu. Inilah keunikan dan keistimewaan Istana Lima Laras. Namun sayang bila ingin berkunjung ke Istana yang pernah megah ini, jangan bayangkan masih bisa melihat tangga putar itu masih utuh. Beberapa anak tangga ada yang sudah rusak dan patah. Harus hati-hati bila ingin menuju ke lantai dasar Istana. "Konidisi istana memang sudah banyak yang rusak, namun perbaikan terus dilakukan pihak keluarga kami untuk menjaga keutuhan Istana.Renovasi terakhir dibantu oleh pemerintah Asahan tahun 1980 an dengan biaya perbaikan Rp 234 juta", terang Amirsyah kepada Medan Bisnis.
Padahal upaya melestarikan istana sangat penting mengingat sejarah dan nilai budaya yang dikandungnya. Istana Lima Laras tidak dihuni lagi. Malam hari, tidak ada penerangan berarti. Halaman istana juga ditumbuhi semak yang tingginya bisa mencapai satu meter lebih Terakhir kira-kira tahun 1998 dilakukan rehap genteng, selanjutnya karena kondisi keuangan keluarga, rehap Istana pun dilakukan secara kecil-kecilan.
Selain bangunan dan lantai Istana yang mulai usang, Singgasana dan perlengkapan ruangan Istana Lima Laras juga sudah tidak terliha lagi. Namun bukan rusak atau terjual, tetapi pihak keluarga kerjaan terpaksa harus menyimpan dan merawatnya agar tidak rusak. Datuk Muhammad Azminsyah (72) cucu kandung Datuk Matyoeda. Beliau beruntung masih menyimpan beberapa barang pusaka perlengkapan Istana milik kakeknya. 
Seperti tempayan besar dengan ukiran naga, sejumlah barang pecah-belah, dua buah pedang dan sebuah tombak. Barang itu disimpan di rumahnya yang berjarak sekitar 100 meter dari istana. Istana Lima Laras sekarang ini memang tengah dalam tahap perbaikan. Lantai satu dan dua bagian belakang istana sudah diperbaiki dan dicat.
Perbaikan kecil itu sifatnya hanya menunda kehancuran, sebab bangunan utama di bagian depan masih berantakan. Dinding-dinding sudah bercopotan papannya, demikian juga atap dan lantai. Beberapa tiang penyangga yang terbuat dari kayu pun bernasib serupa. Menurut Maddin, 70, yang sehari-hari menjaga istana tersebut, biaya perbaikan itu berasal dari pihak keluarga. "Bantuan pemerintah sudah lama tidak ada. Kalau hari-hari libur seperti lebaran, ada tambahan biaya perbaikan dari kutipan masuk Rp500 per orang," kata Maddin. Di depannya ada bangunan kecil tempat dua meriam berada. Hampir keseluruhan bangunan berarsitektur Melayu, terutama pada model atap dan kisi-kisinya. Akan tetapi ada juga beberapa bagian istana berornamen China. Kecuali batu bata, bahan bangunan seperti kaca untuk jendela dan pintu didatangkan dari luar negeri.

Istana Lima Laras berada di atas tanah seluas 102 x 98 meter. Pendirinya Datuk Matyoeda, Raja ke XIII  dari Kerajaan Lima Laras yang lahir pada tahun 1883 dan akhirnya wafat pada tahun 1919. Tepatnya 7 tahun Istana Lima Laras berdiri dan menjadi pusat pemerintahan di Batubara. Makamnya pun masih dapat kita lihat dikawasan Istana Lima Laras. Datuk Matyoeda adalah putra tertua dari Raja sebelumnya, yakni Datuk H. Djafar gelar Raja Sri Indra. Menurut sejarah, kerajaan Lima Laras diperkirakan telah ada sejak abad ke XVI, dan tunduk pada Kesultanan Siak di Riau. Semula istana ini bernama Istana Niat Lima Laras, karena rencana pembangunannya berdasarkan niat Datuk Matyoeda untuk mendirikan sebuah istana kerajaan. Sebelumnya  pusat pemerintahan, sering berpindah-pindah karena belum punya istana yang permanen.
 Niat Datuk Matyoeda untuk mendirikan istana bermula dari keputusan Belanda yang melarang para raja berdagang. Tidak jelas alasan larangan ini. Matyoeda yang kerap berdagang ke Malaysia, Singapura dan Thailand dan memiliki kapal besar tentu saja gusar. Apalagi pada saat keputusan keluar, beberapa armada dagangnya sedang berlayar ke Malaysia. Dengan adanya larangan ini, nasib kapal bersama isinya itu tidak terjamin lagi. Bisa disita Belanda setibanya kembali di Asahan, atau bisa tetap tinggal di Malaysia yang dulu masih bernama Malaka.
Matyoeda berniat, jika dagangan terakhirnya selamat, hasilnya akan digunakan membangun istana. Rupanya kapalnya kembali dengan selamat. Maka dia kemudian membangun istana itu dengan biaya 150.000 gulden dan memimpin langsung pembangunan istana dengan mendatangkan 80 orang tenaga ahli dari China dan Pulau Penang, Malaysia serta sejumlah tukang dari sekitar lokasi pembangunan istana. Matyoeda bersama keluarga dan unsur pemerintahannya mendiami istana sejak 1917, walaupun pada saat itu istana masih belum rampung. Waktu wafatnya pada 7 Juni 1919, sekaligus penanda berakhirnya masa kejayaan kerajaan Lima Laras. Tahun 1942 tentara Jepang masuk Asahan dan menguasai istana.Kekuasaan Jepang di Indonesia sejak Maret 1942 hingga 1945 mengakibatkan keadaan yang semakin carut-marut. Tiga hari setelah jatuhnya bom di Hiroshima, Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Di saat yang sama pula, diumumkanlah pemerintah Republik Indonesia dengan Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakilnya. Dengan demikian, dimulailah revolusi republik di seluruh wilayah Indonesia. Sebagian raja dan kesultanan dihabisi para kaum nasionalis dan bala tentara Jepang.Keluarga Kesultanan Deli dan Serdang terselamatkan berkat penjagaan tentara Sekutu yang sedang bertugas di Medan untuk menerima penyerahan dari Jepang. Sementara di Serdang, beberapa orang keluarga raja sedari awal telah mendukung rakyat menentang Belanda. 
Akan tetapi, di Langkat, Istana Sultan dan rumah-rumah kerabat diserang dan rajanya dibunuh bersama keluarganya termasuklah penyair besar Indonesia, Tengku Amir Hamzah yang dipancung di Kuala Begumit. Keganasan yang paling dahsyat terjadi pada bulan Maret 1946 di Asahan dan di kerajaan-kerajaan Melayu di Labuhanbatu seperti Kualuh, Panai dan Kota Pinang. Di Labuhanbatu, daerah yang paling jauh dengan Kota Medan tidak dapat dilindungi asukan sekutu. Istana raja dikepung dan raja-rajanya pun dibunuh seperti Yang Dipertuan Tengku Al Haji Muhammad Syah (Kualuh), Sultan Bidar Alam Syah IV (Bilah), Sultan Mahmud Aman Gagar Alam Syah (Panai) dan Tengku Mustafa gelar Yang Dipertuan Besar Makmur Perkasa Alam Syah (Kota Pinang).
Masa Agresi Militer II, istana Lima Laras kembali ke tangan Republik dan ditempati Angkatan Laut Republik Indonesia di bawah pimpinan Mayor Dahrif Nasution.
Inilah peninggalan raja-raja tempo dulu, yang kini sulit dilestarikan, karena pemerintah sama sekali kurang memerhatikan cagar budaya nasional. Budaya, sesungguhnya bisa dijual untuk kepentingan bangsa dan negara, lewat wisata budaya yang ditinggalkan para sultan atau raja-raja tempo doeloe.


SEJARAH KABUPATEN BATUBARA 




Wilayah Batu Bara telah dihuni oleh penduduk sejak tahun 1720 M, ketika itu di Batu Bara terdapat 5 (lima) suku penduduk yaitu “Lima Laras, Tanah Datar, Pesisir, Lima Puluh dan Suku Boga”. Kelima suku tersebut masing-masing dipimpin oleh seorang Datuk yang juga memimpin wilayah teritorial tertentu. Ketika itu Batu Bara menjadi bagian dari kerajaan Siak dan Johor. Untuk mewakili kerajaan Siak dan mengepalai Datuk-Datuk seluruh Batu Bara diangkat seorang Bendahara secara turun temurun. Setiap Datuk kepala suku mendapat pengangkatan dan capnya dari Sultan Siak. Susunan pimpinan Batu Bara pada waktu itu ialah Bendahara dan di bawahnya terdapat sebuah Dewan yang anggota-anggotanya dipilih oleh Datuk-Datuk kepala suku bersama-sama. Anggota Dewan ini adalah: 1. Seorang Syahbandar, tetap dipilih orang yang berasal dari suku Tanah Datar. 2. Juru Tulis, dipilih yang berasal dari suku Lima Puluh. 3. Mata-Mata, dipilih orang yang berasal dari suku Lima Laras. 4. Penghulu Batangan, dipilih orang yang berasal dari suku Pesisir. Nama Batu Bara (Batubahara) sudah tercantum dalam literatur di abad ke-16 yang membayar upeti kepada Haru. Laporan Pemerintah Inggris dari Penang, Jhon Anderson, mengunjungi Batu Bara pada tahun 1823 dalam bukunya “ Mission to The Eastcoast of Sumatra” sebagai berikut: “Di hulu sungai Batu Bara ada sebuah bangunan batu yang tidak ada tercatat bila dibangun di kalangan penduduk. Bangunan itu dilukiskan sebagai bentuk empat persegi, dan di salah satu sudutnya ada tiang yang sangat tinggi, mungkin tiang bendera. Lukisan relief manusia diukir di dinding, yang mungkin dewa-dewa Hindu .....”. Menurut Shadee, dalam bukunya “Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust”, pada permulaan kedatangan Belanda ke Sumatera Timur di tahun 1862, wilayah Pagurawan dan Tanjong berada langsung di bawah jajahan Datuk Lima Puluh dari Batu Bara yang kemudian tunduk pula kepada Siak. Dalam tahun 1885, Pemerintah Hindia Belanda membayar ganti rugi kepafa Pemerintah Kerajaan Siak sehingga kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur Lepas dari kerajaan Siak dan berhubungan langsung dengan Pemerintah Hindia Belanda yang diikat dengan perjanjian Politik Contract (27 pasal). Perjanjian Politik Contract tersebut meliputi beberapa kerajaan seperti Langkat, Serdang, Deli, Asahan, Siak, Pelalawan (Riau), termasuk juga kerajaan-kerajaan kecil seperti Tanah Karo, Simalungun, Indragiri dan Batu Bara serta Labuhan Batu. Pada tahun 1889 residensi Sumatera Timur terbentuk dan beribukota di Medan, residen Sumatera Timur ini terdiri dari 5 (lima) Afdeling yaitu: 1. Afdeling Deli yang langsung di bawah Residen di Medan. 2. Afdeling Batu Bara berkedudukan di Labuhan Ruku. 3. Afdeling Asahan berkedudukan di Tanjung Balai. 4. Afdeling Labuhan Batu berkedudukan di Labuhan Batu. 5. Afdeling Bengkalis berkedudukan di Bengkalis. Wilayah Batu Bara saat itu merupakan Afdeling (Kabupaten) tersendiri beribukota di Labuhan Ruku di samping Afdeling (Kabupaten) Asahan. Afdeling Batu Bara itu terdiri dari 8 (delapan) Landschap (setara dengan Kecamatan). Masing-masing landschap ini dipimpin oleh seorang raja. Di dalam Afdeling Batu bara termasuk di dalamnya wilayah Batak di perdalaman (Simalungun). Berdasarkan Sensus Penduduk yang diselenggarakan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1933, penduduk asli Batu Bara berjumlah 32.052 jiwa. Pada saat Indonesia merdeka wilayah Batu Bara berubah nama. Sebutan Landschap menjadi Kecamatan. Khusus Batu Bara lebih dahulu digelar namanya Kewedanan. Kewedanan Batu Bara beribukota Labuhan Ruku yang waktu itu membawahi 5 (lima) Kecamatan yaitu: Kecamatan Talawi, Tanjung Tiram, Lima Puluh, Air Putih dan Medang Deras. Hal ini terjadi hingga 4 (empat) masa kepemimpinan Kewedanan, nama Kewedanan dicabut sehingga yang ada hanya 5 (lima) kantor camat dan tergabung dengan wilayah Asahan dengan nama Kabupaten Asahan yang beribukota di Kisaran. Pada tahun 1969 masyarakat Batu Bara pernah membentuk Panitia Penuntut Otonom Batu Bara (PPOB) yang diketuai oleh Abdul Karim AS, seorang tokoh masyarakat dan pernah menjadi anggota DPRD Asahan. PPOB ini berkedudukan di Jalan Merdeka Kecamatan Tanjung Tiram, tetapi karena Undang-Undang Otonomi belum dikeluarkan Pemerintah sehingga perjuangan ini kandas sebelum berhasil terbentuk Kabupaten Batu Bara yang otonom. Pada era reformasi lebih kurang 30 tahun setelah terbakarnya kantor PPOB di Tanjung Tiram, dengan adanya Ketetapan MPR No.XV/MPR/1998 yang meminta kepada Presiden untuk dilakukannya penyelenggaraan Otonomi Daerah, tepatnya pasca lahir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang semakin mempertegas makna penyelenggaraan Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggungjawab serta membenarkan adanya pemekaran atau pembentukan suatu daerah menjadi lebih satu daerah, sebagaimana tertuang dalam pasal 6 ayat 2 yang berbunyi “Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah”. Undang-Undang ini menjadi landasan perjuangan masyarakat Batu Bara untuk kembali menuntut menjadi wilayah Batu Bara menjadi sebuah daerah Kabupaten yang otonom yang bisa mengatur dirinya sendiri dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dalam kemandirian. Badan Pekerja Persiapan Pembentukan Kabupaten Batu Bara (BP3KB) yang berkedudukan di Medan berupaya untuk meneliti dan menjajaki lebih lanjut kemungkinan terbentuknya Kabupaten Batu Bara yang otonom. Sejalan dengan itu di kecamatan-kecamatan lahir pula gerakan masyarakat yang menuntut dibentuknya Kabupaten Batu Bara yang menamakan diri sebagai Gemkara “Gerakan Masyarakat Menuju Kabupaten Batu Bara”. Kabupaten Batu Bara akhirnya terbentuk setelah pihak legislative (DPR-RI) dalam Sidang Paripurna pada hari Jum’at tanggal 8 Desember 2006 membahas tentang pembentukan Kabupaten Batu Bara dan dinyatakan syah menjadi sebuah Kabupaten melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Batu Bara di Propinsi Sumatera Utara dan Lampiran Negara Nomor 7 Tahun 2007. Sumber: Skripsi: Ahmad Akbar, NIM 03310664. Potensi Kabupaten Batu Bara Dalam Penentuan Ibukota Kabupaten. Medan : Jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu Sosial UNIMED. 2008. Geografis: Kabupaten Batubara merupakan pemekaran dari Kabupaten Asahan dimana tujuh kecamatan di Kabupaten Asahan dikurangi dan dipindahkan wilayahnya menjadi wilayah kabupaten Batubara. Kecamatan: Air Putih • Limapuluh • Medang Deras • Sei Balai • Sei Suka • Talawi • Tanjung Tiram Batas Wilayah: Utara Bandar Khalipah (Kabupaten Serdang Bedagai) dan Selat Malaka. Selatan Meranti (Kabupaten Asahan) dan Ujung Padang (Kabupaten Simalungun). Barat Bosar Maligas, Bandar, Bandar Masilam, Dolok Batunanggar (Kabupaten Simalungun) dan Tebingtinggi (Kabupaten Serdang Bedagai). Timur Air Joman (Kabupaten Asahan) dan Selat Malaka. Mengenal Lebih Dekat Kab. Batu Bara Pada tanggal 15 Juni 2007, Kabupaten Batubara resmi menjadi daerah tingkat II ke-26 Propinsi Sumut. Peresmian kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Asahan. Kabupaten baru ini terdiri 7 kecamatan, 98 desa, 7 kelurahan, dengan jumlah penduduk 374.715 jiwa, di mana 25.837 jiwa di antaranya warga miskin. Potensi dimiliki Kabupaten Batubara itu seperti, kelautan, pertanian dan perkebunan. Salah satu peninggalan atau lokasi sejarah tersebut yakni Kubah yang ada di Kecamatan Lima Puluh, merupakan daerah asal mula jadinya Batubara. Daerah Kubah ini merupakan lokasi makam Syekh Marabullah, merupakan pendiri Batubara. Potensi Ekonomi Kabupaten Batubara merupakan daerah potensial untuk berkembang menjadi daerah industri. Betapa tidak, daerah Kuala Tanjung, salah satu desa di Kab. Batu Bara, telah ditetapkan menjadi Daerah Ekonomi Khusus. Ini merupakan pengembangan wilayah industri dari KIM (Kawasan Industri Medan). Sebagai Pioneer berkembangnya wilayah ini adalah PT Indonesia Asahan Aluminium (INALUM), perusahaan patungan antara Perusahaan-perusahaan swasta Jepang dengan pemerintah Indonesia. Perusahaan peleburan aluminium ini merupakan pabrik peleburan aluminium satu-satunya di Asia Tenggara. Selain itu, mengikuti jejak PT INALUM, berdiri juga PT Multimas Nabati Asahan (MNA) yang memproduksi minyak goreng Sania. Kemudian muncul lagi PT Domba Mas, yang kini masih tahap konstruksi. Kini menyusul lagi beberapa perusahaan besar, yang mungkin akan beroperasi dalam waktu dekat ini seperi PLTU, PT Dairi Prima, PT AAA, dan lain sebagainya. Selain itu, Kab. Batu Bara kaya akan hasil laut dan pertanian. Banyak terdapat perkebunan yang terbentang di Kab. Batu Bara. Potensi Wisata Banyak sekali potensi wisata yang masih belum dikelola dengan baik di Kabupaten baru ini seperti: Danau Laut Tador Pantai Perjuangan Pantai Kuala Sipare Pantai Jono Istana Lima Laras Dll Kalau mau tahu lebih banyak tentang Kabupaten Batu Bara, silahkan datang saja langsung ke sana. Kira-kira 120 km dari Medan (3 jam perjalanan). Mau investasi? Ya Kabupaten Batu Bara lah tempatnya. Bahkan, para pengamat ekonomi mengatakan apabila Kabupaten ini dkelola dengan baik, Kabupaten ini akan lebih maju dari kabupaten induknya, Asahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar