SI JAMPANG
Anak laki-laki
itu dinamakan Jampang. la lahir di Desa Jampang Sukabumi Selatan. Bapaknya
berasal dari Banten dan ibunya berasal dari desa ]ampang. Anak laki-laki itu
tinggal di rumah pamannya di Grogol Depok. Pamannya sangat sayang kepadanya,
selain keponakan, anak laki-laki itu juga yatim piatu yang memerlukan
perlindungan. Sang paman membawa Jampang dari desa Jampang ke Grogol Depok.
Dirumah pamannya, Jampang dibesarkan. Jampang diperlakukan sebagai anak
sendiri. Agar ]ampang memiliki ilmu, bekal hidupnya, oleh pamannya ia disuruh
mengaji pada seorang guru ngaji di Grogol Depok. Jampang juga disuruh belajar ilmu bela
diri oleh pamannya. Pamannya berkata, "Pang, Lu mesti punya kepandaian
silat, karena menegakkan kebenaran tanpa kekuatan adalah sia-sia."
" Aye mang ! "
jawab Jampang penuh rasa hormat.
" Lu ikut mamang ke
Cianjur, lu belajar silat disana ama kenalan mamang."
" Aye sih pegimane
mamang."
Oleh pamannya, Jampang
diantarkan ke Cianjur untuk belajar sekaligus menetap dirumah guru silat.
Selain belajar silat, ]ampang
membantu guru silatnya, Jampang membantu menanem padi, merapikan rumah.
Ditempat guru silatnya, Jampang memperlakukan diri sebagai anak, tidak
berpangku tangan. Guru silatnya menjadi sayang, dan dengan rela hati
mengajarkan semua kepandaian yang dimiliki termasuk ilmu kebatinan.
Setelah Jampang
menyelesaikan menuntut ilmu silat, ia kembali ke Grogol Depok. Guru silatnya
berpesan kepadanya agar ilmu yang didapatnya jangan digunakan untuk berbuat kejahatan.
Jampang mengangguk setuju, kemudian mencium tangan guru silatnya mohon izin
meninggalkan Cianjur kembali ke Grogol Depok "Pang! Salam aye buat mamang
lu," ujar Guru silatnya. " Aye, Guru !"
Jampang kembali
ke rumah Mamang di Grogol Depok. Dari Cianjur Jampang berjalan kaki melewati
jalan setapak naik turun perbukitan menuju Bogor. Dari Bogor Jarnpang menumpang
kereta api Buitenzorg-Batavia turun di Depok. Pamannya sangat gembira menyambut
kedatangan Jampang yang telah berbulan lamanya meninggalkan rumah untuk
menuntut ilmu silat. Oleh pamannya, Jampang diminta meneruskan menuntut ilmu
mengaji. Jampang dengan patuh memenuhi permintaan mamangnya. Berkat ketekunan
dan kepatuhan untuk menuntut ilmu mengaji, Jampang dengan mudah menyerap ilmu
mengaji yang diajarkan gurunya. Gurunya menjadi sayang kepadanya, selama
menuntut ilmu mengaji, Jampang juga membantu mamangnya dan guru ngajinya
mengerjakan sawah. Setelah merasa cukup memiliki bekal ilmu dan usianya
telah menanjak dewasa menjadi seorang pemuda, Jampang merasa sudah saatnya
tidak bergantung lagi dengan mamangnya. Jampang menyampaikan keinginannya untuk
merantau ke Betawi.
" Kalo emang lu pengen
merantau, lu mesti bawa diri, biar orang laen seneng ame lu." mamangnya
menasehati " Aye mang." jawab Jampang.
Jampang berangkat ke Betawi,
memulai kehidupan mandiri. Di Betawi Jarnpang menuju salah seorang ternan
mamangnya di Kebayoran Lama. la diterima menetap dirumah
tersebut. Sebagai penumpang, Jampang membantu si empunya rumah berkebun serta
berdagang buah di pasar Tanah Abang.
Suasana Kebayoran
Lama tempat Jampang menetap di bawah kekuasaan tuan tanah dengan centeng
centengnya yang setiap bulan datang menagih pajak kepada penduduk. Bila
penduduk tidak punya uang untuk membayar pajak, para centeng tak segan-segan
mengambil harta milik yang ada di rumah penduduk. Ada kambing yang terlihat di
kandang akan diambil. Keadaan bisa lebih buruk lagi, para centeng akan memukuli
orang yang tidak bisa membayar pajak.
Jampang menyaksikan perilaku
para centeng yang tidak punya perikemanusiaan kepada penduduk. Timbul keinginan
untuk menantang para centeng, tapi Jarnpang masih berpikir akan nasib orang
yang ditumpanginya. Jampang mengamati dengan cermat wajah para centeng dan
bertekad akan membalas perbuatan mereka dikemudian hari.
Selama menumpang
dirumah itu, Jampang berkenalan dengan gadis kampung tersebut. Jampang menjalin
tali kasih dengan wanita di kampung itu, kemudian berniat membina rumah tangga.
Jampang menyampaikan isi hatinya wanita tersebut setuju, kemudian si empunya
rumah diminta untuk melamar orangtua wanita tersebut.
Jampang menikah
dengan gadis Kebayoran Lama dan pindah menetap dirumah mertuanya. Oleh
mertuanya, Jampang diberi sebidang tanah untuk digarap. Bersama isterinya,
Jampang menggarap tanah, menanami lahan dengan bibit padi, kacang dan kelapa.
Selain menggarap tanah, Jampang juga menjual hasil kebun mertuanya ke pasar
Tanah Abang. Isterinya hamil kemudian melahirkan seorang anak laki-laki diberi
Nama Jampang muda. Wajah
anaknya sangat mirip dengan dirinya, ibarat pinang dibelah dua. Jampang sangat
gembira, kegembiraan yang tidak terkatakan. Setiap selesai bekerja di kebun
atau menjual hasil kebun di pasar, Jampang selalu bercanda dengan anaknya.
Sekalipun Jampang memiliki
ilmu silat yang tinggi, tetapi ia pun terkena tagihan dari centeng tuan tanah
Kebayoran. Sebenarnya Jampang ingin melawan, tetapi memikirkan anaknya yang
masih disusui isterinya
Jampang mengalah, membiarkan para centeng beraksi didepan matanya.
Jampang mengalah, membiarkan para centeng beraksi didepan matanya.
" Mane pajak lu, cepat !
" hardik centeng padanya.
" Ini bang! Jampang
menyerahkan uang beberapa sen pada centeng tersebut.
"Lu memang penduduk yang
taat.
" Aye bang" Jampang
berpura-pura seperti orang bodoh
Ketika anaknya berusia 4
tahun, isterinya meninggal dunia. Jampang sangat sedih dengan kepergian
isterinya. Ditatapnya mata anaknya yang kini tidak beribu lagi. mertuanya
datang menggendong anaknya sarnbil berkata.
" Biarlah dia ame kami
disini Pang."
"Aye nyak."
" Lu mau kemane Pang
?"
" Mau ke Tanah Abang
nyak."
Jampang menitipkan anaknya
kepada mertuanya, ia pergi ke Tanah Abang. Jampang memutuskan untuk mengambil
kembali hak miliknya dan hak milik mertuanya serta penduduk yang diambil oleh
para tuan tanah dan centeng secara sewenang-wenang. Jampang pergi ke Tanah
Abang sambil melewati rumah para tuan tanah dan orang-orang kaya serta rumah
para centeng.Sungguh sangat berbeda, rumah
mereka penuh dengan perabotan mahal. Dari mana lagi kalau bukan dari hasil
memeras penduduk.
Jampang di pasar Tanah Abang
sampai menjelang Ashar. Kemudian pergi ke rumah seorang tuan tanah, mengamati
dengan cermat keadaan rumah, berapa centeng yang menjaga, bagaimana jalan masuk
yang tepat. Setelah itu Jampang pergi ke langgar, menunggu sambil sholat
Maghrib dan Isya.
"Anak siape ? "
tanya imam sekaligus ustadz langgar menyapanya
"Aye Jampang pak
imam" jawab Jampang
" Anak dari mane? "
" Aye dari Kebayoran
Lama"
" Ada keperluan apa
singgah di kampung ini ?"
" Aye pengen ngambil
milik aye yang dirampok tuan tanah", "Hati-hati nak, banyak
jagoannya." .
" Pan aye punya penolong
" " Siape ?"
" Nyang diatas, Allah
"
Imam langgar geleng kepala.
Jampang segera mengambil wudhu dan azan Maghrib. Kemudian shalat Maghrib
berjamaah.
Selesai sholat, imam langgar
mengajak Jampang makan di rumahnya. Jampang tidak menolak, mengikuti imam
langgar menuju rumah imam langgar. Sambil jalan imam langgar berkata,
"Malam ini ada pertunjukan di kampung sebelah, biasanye lewat Isya para
centeng dan tuan tanah pergi".
"Terima kasih pak
ustadz."
Setelah sholat Isya, Jampang
bergerak perlahan mendekati rumah tuan tanah. Dari kejauhan terlihat kerumunan
orang. Para centeng dengan golok di pinggang sambil menyulut rokok sebagian
duduk, sebagian berdiri.
Kemudian keluar seorang yang
barangkali tuan tanah. Kemudian kerumunan itu pergi dari rumah itu menuju ke
kampung sebelah menonton pertunjukan Gambang Kromong.
Jampang dengan cermat
mengawasi kepergian tuan tanah dan para centengnya. Setelah mereka berlalu
beberapa saat, Jampang masih tetap di tempatnya untuk mengawasi keadaan rumah.
kemudian keluar seorang lelaki, menutup pintu pagar lalu masuk kembali ke dalam
rumah. Jampang bergerak perlahan-lahan sambil mengawasi keadaan sekitarnya.
Suasana sepi, gemerisik angin dan suara jangkrik memecah kesunyian malam.
Jampang melompati pagar rumah tuan tanah, kemudian merangsek maju mendekati
jendela, menempelkan telinga pada kayu dan jendela. Terdengar suara perempuan
sedang berbincangbincang didalam rumah.
" Nyak, kalung aye belon
juge dibeliin kapan nyak ? "terdengar suara perempuan muda, mungkin anak
tuan tanah.
" Entar kalo si Rochim
ame babe lu, pasti lu punya kalung juga" ujar perempuan tua, mungkin
isteri tuan tanah.
" Babe sih seneng ingkar
janji, bukannya beliin untuk aye, tapi buat gendak-gendaknya. "
" Kagak bener lu omongin
babe lu, durhaka nak."
" Biarin, abisnye aye
kagak dibeliin gelang " " Sono tidur, pan udah malem "
Jampang bergeser ke jendela
lainnya, memasangkan telinga untuk mendengar, tak ada suara apa-apa, mungkin
sudah tidur. Dengan perlahan-lahan menggunakan tenaga dalam, Jarnpang membuka
jendela lalu melompat masuk. Seorang lelaki yang sedang tidur ayarn tersentak
bangun,Jampang dengan
sigap membekuk laki-laki itu untuk tidur kembali, sebuah pukulannya membuat
lelaki itu terkulai layu tak berdaya. Jampang kemudian bergerak kekamar tidur tuan tanah.
Tangannya mengetuk pintu perlahan-lahan, terdengar suara panggilan dari dalarn
karnar.
" Siape, elu Min ?"
tanya isteri tuan tanah.
"Aye nyah" ujar
Jarnpang memalsukan suara" Ada ape sih? Lu mau nonton ?" " lye
nyah "
Terdengar langkah menuju
pintu, pintu terbuka, dalam waktu tak lebih dari dua detik, Jampang berhasil
membekuk isteri tuan tanah. Goloknya ditodong ke Ieher isteri tuan tanah.
"Tunjukan mane lemari lu
"Jampang mengarah isteri tuan tanah ke lemari di dalam kamar.
"Jangan !" ujar
isteri tuan tanah.
" Lu teriak gue sabet
leher lu."
Jampang membuka pintu lemari,
ternyata terkunci. Jampang menekan ujung goloknya ke leher isteri tuan tanah.
" Ampun, " ujar
isteri tuan tanah minta belas kasihan " Ambilin kuncinya, cepat!"
" Lepasin aye"
" Tidak, mana kuncinya
?"
lsteri tuan tanah menunjuk kearah
kasur. Jarnpang mengarah isteri tuan tanah ke sisi kasur, kemudian mengangkat
kasurnya, mengambil kunci. Kemudian Jampang mengikat isteri tuan tanah dan
menyumpal mulutnya dengan kain.
Jampang membuka lemari,
mengarnbil uang dan emas yang ada dalam lemari, kemudian uang emas dan beberapa
potong kain sarung dikumpulkan dalam sebuah kain sarung. Lalu Jampang mendekati
isteri tuan tanah, melucuti kalung,gelang serta cincin yang
dipakai isteri tuan tanah.
"Hei perempuan, lu pikir
semua bande ini milik lu?" ujar Jampang seraya menengadahkan kepala isteri
tuan tanah dengan tangannya.
"Bande ini laki lu
rarnpas dari rakyat, ini semua keringat penduduk, yang kerjanya setengah mati,
lu enak-enak main rampas," ujar Jampang menatap tajam ke muka isteri tuan
tanah.
Jarnpang kemudian keluar dari
kamar tersebut, menutup pintunya perlahan-lahan, berjingkat ke arah kamar yang
tempat ia masuk, melompat lewat jendeia kemudian mendekati pagar, lalu melompat
keluar. Jampang melangkah waspada, tidak melalui jalan yang biasa dilalui
orang. Ia mengambil jalan lewat tegalan sawah menuju ke Kebayoran. Jampang tiba
di rumahnya saat hampir subuh. Selama perjalanan, Jampang membagi-bagikan
sebagian rampasannya ke rumah-rumah penduduk miskin. Sampai di rumah, Jampang
segera menyimpan sisa rampasan, lalu mengambil air wudhu, melaksanakan sholat
subuh. Memohon ampun kepada Allah tindakan yang terpaksa dilakukan, kemudian
tidur lelap. Setelah peristiwa tersebut, Jampang mencari tahu tentang tuan tanah
tersebut semakin bengis dalam menagih
pajak, tidak perduli keluhan penduduk mengapa tagihan pajak begitu cepat dari waktunya. "Pan pajeknye udah aye
bed kemarin" ujar penduduk pada centeng.
"Diam lu, ngebacot gua
golok " hardik centeng.
Jampang yang menyaksikan
keadaan tersebut, tidak bisa menahan diri. Jampang menghadang beberapa orang
centeng yang baru saja merampas dari sebuah rumah penduduk.
"Minggir lu bangsat !
" hardik centeng pada Jampang.
" Serahin semua bawaan
lu " pinta Jampang.
" Lu mau ngerampok
?"
" Emang kenape, lu juga
ngerampok," ujar Jampang tenang.
Centeng-centeng segera
mengayunkan goloknya ke arah Jampang. Dengan sigap Jampang melayani perkelahian
dengan para centeng. Seorang centeng yang mencoba melarikan barang, segera
dijegal Jampang. Perkelahian menjadi seru. Satu persatu centeng berhasil
dilumpuhkan, kemudian Jampang melemparkan golok mereka ke rumput ilalang, lalu
menghardik mereka.
" Bangun ! pergi atau
gue cabut nyawa elu-elu"
Para centeng dengan susah
payah bangun, kemudian terbirit-birit menjauh dari Jampang, kemudian hilang
dari pandangan.
Penduduk segera berdatangan,
Jampang melemparkan barang-barang rampasan dari centeng kepada penduduk. "
Ambil yang kalian punya" ujar Jampang.
Para penduduk memilih barang
mereka kemudian mendekati Jampang, sebagian berlutut ingin mencium kakinya.
" Jangan ! gue bukan
Belande, bangun ! pulang kerumah masing-masing " seru Jampang.
" Terima kasih, Bang
" penduduk memberi hormat. Kemudian Jampang berlalu dari tempat itu.
Jampang terus melakukan
aksinya setiap malam ke rumah tuan tanah, rumah para centeng dan rumah orang
kaya. Jampang terus berpindah tempat diantaranya Grogol, Pasar Ikan, Tanjung
Priok dan Tambun Bekasi. Selain melakukan aksi perampasan malam hari, Jampang
juga selalu menghadang para centeng yang menagih pajak atas penduduk. Karena
aksinya, namanya dikenalluas oleh penduduk si Jampang dihormati dan
dielu-elukan kehadirannya, sedangkan bagi para centeng,tuan tanah, demang dan
Belanda, si Jampang sangat dibenci dan diburu.
Penguasa penjajah mengerahkan
polisi untuk mengintai si Jampang, tetapi karena ia selalu berpindah-pindah
tempat operasinya, sulit bagi polisi Belanda menangkapnya, sementara jagoan
centeng para tuan tanah tidak mampu membunuh Jampang dalam setiap perkelahian.
Akibat keberhasilan yang selalu memihaknya Jampang digelari penduduk sebagai Si
Jampang Jago Betawi.
Sehari harinya Jampang sangat
memperhatikan anaknya. Anaknya dititipkan di rumah mertuanya. Setiap ada
kesempatan Jampang mendatangi rumah mertuanya menemui anaknya. Baru setelah
anaknya berusia diatas sepuluh tahun. Jampang mengajak tidur dirumah mereka,
jika kebetulan menginap di rumah, jika Jampang beroperasi, anaknya dititipkan
dirumah mertua. Jampang tak ingin mertuanya dan anaknya susah, karenanya
Jampang tidak beroperasi
dikampungnya. Jampang juga mengajarkan
anaknya ilmu serta ilmu agama seadanya jika kebetulan di rumah. Anaknya tumbuh
menjadi dewasa dan kekar. Mencapai usia 15 tahun, Jampang berkata pada anaknya.
"Eh lu tong, gua mau
nanya ame lu. lu mau sekolah apa lu mau ngaji?" Tanya Jampang.
"Ngaji aye nggak mau,
sekolah juga aye ogah. Aye kepengen belajar main pukul kaye babe".
"Lu jangan main pukul
kaya bapak lu, kalau lu ogah semua, baekan lu kawin aje dah".
"Aye kagak mau kawin be,
kalau gitu aye mendingan sekolah aje, kalau babe mau kawin, babe aja dah yang
kawin". Jampang tertawa mendengarkan jawaban dan usulan anaknya
"Kalo lu punya nyak lagi,
gua punya kawan yang bernama Sarba di tanah perkembangan Tambun" kata
Jampang. Jampang kemudian menyerahkan anaknya pada seorang guru ngaji. Setelah
itu Jampang pergi ke tanah perkembangan menemui Sarba temannya.
Di tanah perkembangan Jampang
di sambut oleh Si Ciput pembantu rumah tangga Sarba. Jampang gembira sekali
karena akan bertemu temannya yang sudah lama berpisah.
"Eh Put kemana
Sarba?" tanya Jampang antusias.
"Sarba pan udah
meninggaI" ujar Ciput tenang menjawab pertanyaan Jampang. Jampang kaget
bukan kepalang, Jampang bagaikan tak percaya pada pertanyaan Ciput.
"Hah! Masa iye Put,
Sarba udah meninggal ??? kalo gitu istri Sarba si Mayangsari menjande ye
Put?" Jampang berkelakar.
"Betul" jawab Ciput
tersenyum.
"Wah, kebetulan sekali
Put, gua sedang kagak punya bini, bini gua udah meninggal Put. Coba lu omongin
ame Si Mayangsari. Put, ape mau die kawin arne gua?" Jampang minta Ciput
untuk memberitahukan keinginannya pada Mayangsari.
Ciput masuk ke dalam rumah,
sementara Jampang duduk di serambi rumah. Beberapa waktu kemudian Ciput dan
Mayangsari menemui Jampang, Jampang tersentak bangun dan menyalami Mayangsari.
"Mayangsari ... Abang
Sarba pergi kemane?" Jampang berpura-pura tidak tahu.
"Abang lu jangan
ditanya, Sarba telah lama meninggal dunia" Mayangsari menjawab dalam nada
sedih.
"Sakit apa abang Sarba
kok aye nggak dikabarin" Mayangsari kemudian menjelaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar