Kamis, 29 Januari 2015
Rabu, 21 Januari 2015
Selasa, 20 Januari 2015
CERITA RAKYAT
SI JAMPANG
Anak laki-laki
itu dinamakan Jampang. la lahir di Desa Jampang Sukabumi Selatan. Bapaknya
berasal dari Banten dan ibunya berasal dari desa ]ampang. Anak laki-laki itu
tinggal di rumah pamannya di Grogol Depok. Pamannya sangat sayang kepadanya,
selain keponakan, anak laki-laki itu juga yatim piatu yang memerlukan
perlindungan. Sang paman membawa Jampang dari desa Jampang ke Grogol Depok.
Dirumah pamannya, Jampang dibesarkan. Jampang diperlakukan sebagai anak
sendiri. Agar ]ampang memiliki ilmu, bekal hidupnya, oleh pamannya ia disuruh
mengaji pada seorang guru ngaji di Grogol Depok. Jampang juga disuruh belajar ilmu bela
diri oleh pamannya. Pamannya berkata, "Pang, Lu mesti punya kepandaian
silat, karena menegakkan kebenaran tanpa kekuatan adalah sia-sia."
" Aye mang ! "
jawab Jampang penuh rasa hormat.
" Lu ikut mamang ke
Cianjur, lu belajar silat disana ama kenalan mamang."
" Aye sih pegimane
mamang."
Oleh pamannya, Jampang
diantarkan ke Cianjur untuk belajar sekaligus menetap dirumah guru silat.
Selain belajar silat, ]ampang
membantu guru silatnya, Jampang membantu menanem padi, merapikan rumah.
Ditempat guru silatnya, Jampang memperlakukan diri sebagai anak, tidak
berpangku tangan. Guru silatnya menjadi sayang, dan dengan rela hati
mengajarkan semua kepandaian yang dimiliki termasuk ilmu kebatinan.
Setelah Jampang
menyelesaikan menuntut ilmu silat, ia kembali ke Grogol Depok. Guru silatnya
berpesan kepadanya agar ilmu yang didapatnya jangan digunakan untuk berbuat kejahatan.
Jampang mengangguk setuju, kemudian mencium tangan guru silatnya mohon izin
meninggalkan Cianjur kembali ke Grogol Depok "Pang! Salam aye buat mamang
lu," ujar Guru silatnya. " Aye, Guru !"
Jampang kembali
ke rumah Mamang di Grogol Depok. Dari Cianjur Jampang berjalan kaki melewati
jalan setapak naik turun perbukitan menuju Bogor. Dari Bogor Jarnpang menumpang
kereta api Buitenzorg-Batavia turun di Depok. Pamannya sangat gembira menyambut
kedatangan Jampang yang telah berbulan lamanya meninggalkan rumah untuk
menuntut ilmu silat. Oleh pamannya, Jampang diminta meneruskan menuntut ilmu
mengaji. Jampang dengan patuh memenuhi permintaan mamangnya. Berkat ketekunan
dan kepatuhan untuk menuntut ilmu mengaji, Jampang dengan mudah menyerap ilmu
mengaji yang diajarkan gurunya. Gurunya menjadi sayang kepadanya, selama
menuntut ilmu mengaji, Jampang juga membantu mamangnya dan guru ngajinya
mengerjakan sawah. Setelah merasa cukup memiliki bekal ilmu dan usianya
telah menanjak dewasa menjadi seorang pemuda, Jampang merasa sudah saatnya
tidak bergantung lagi dengan mamangnya. Jampang menyampaikan keinginannya untuk
merantau ke Betawi.
" Kalo emang lu pengen
merantau, lu mesti bawa diri, biar orang laen seneng ame lu." mamangnya
menasehati " Aye mang." jawab Jampang.
Jampang berangkat ke Betawi,
memulai kehidupan mandiri. Di Betawi Jarnpang menuju salah seorang ternan
mamangnya di Kebayoran Lama. la diterima menetap dirumah
tersebut. Sebagai penumpang, Jampang membantu si empunya rumah berkebun serta
berdagang buah di pasar Tanah Abang.
Suasana Kebayoran
Lama tempat Jampang menetap di bawah kekuasaan tuan tanah dengan centeng
centengnya yang setiap bulan datang menagih pajak kepada penduduk. Bila
penduduk tidak punya uang untuk membayar pajak, para centeng tak segan-segan
mengambil harta milik yang ada di rumah penduduk. Ada kambing yang terlihat di
kandang akan diambil. Keadaan bisa lebih buruk lagi, para centeng akan memukuli
orang yang tidak bisa membayar pajak.
Jampang menyaksikan perilaku
para centeng yang tidak punya perikemanusiaan kepada penduduk. Timbul keinginan
untuk menantang para centeng, tapi Jarnpang masih berpikir akan nasib orang
yang ditumpanginya. Jampang mengamati dengan cermat wajah para centeng dan
bertekad akan membalas perbuatan mereka dikemudian hari.
Selama menumpang
dirumah itu, Jampang berkenalan dengan gadis kampung tersebut. Jampang menjalin
tali kasih dengan wanita di kampung itu, kemudian berniat membina rumah tangga.
Jampang menyampaikan isi hatinya wanita tersebut setuju, kemudian si empunya
rumah diminta untuk melamar orangtua wanita tersebut.
Jampang menikah
dengan gadis Kebayoran Lama dan pindah menetap dirumah mertuanya. Oleh
mertuanya, Jampang diberi sebidang tanah untuk digarap. Bersama isterinya,
Jampang menggarap tanah, menanami lahan dengan bibit padi, kacang dan kelapa.
Selain menggarap tanah, Jampang juga menjual hasil kebun mertuanya ke pasar
Tanah Abang. Isterinya hamil kemudian melahirkan seorang anak laki-laki diberi
Nama Jampang muda. Wajah
anaknya sangat mirip dengan dirinya, ibarat pinang dibelah dua. Jampang sangat
gembira, kegembiraan yang tidak terkatakan. Setiap selesai bekerja di kebun
atau menjual hasil kebun di pasar, Jampang selalu bercanda dengan anaknya.
Sekalipun Jampang memiliki
ilmu silat yang tinggi, tetapi ia pun terkena tagihan dari centeng tuan tanah
Kebayoran. Sebenarnya Jampang ingin melawan, tetapi memikirkan anaknya yang
masih disusui isterinya
Jampang mengalah, membiarkan para centeng beraksi didepan matanya.
Jampang mengalah, membiarkan para centeng beraksi didepan matanya.
" Mane pajak lu, cepat !
" hardik centeng padanya.
" Ini bang! Jampang
menyerahkan uang beberapa sen pada centeng tersebut.
"Lu memang penduduk yang
taat.
" Aye bang" Jampang
berpura-pura seperti orang bodoh
Ketika anaknya berusia 4
tahun, isterinya meninggal dunia. Jampang sangat sedih dengan kepergian
isterinya. Ditatapnya mata anaknya yang kini tidak beribu lagi. mertuanya
datang menggendong anaknya sarnbil berkata.
" Biarlah dia ame kami
disini Pang."
"Aye nyak."
" Lu mau kemane Pang
?"
" Mau ke Tanah Abang
nyak."
Jampang menitipkan anaknya
kepada mertuanya, ia pergi ke Tanah Abang. Jampang memutuskan untuk mengambil
kembali hak miliknya dan hak milik mertuanya serta penduduk yang diambil oleh
para tuan tanah dan centeng secara sewenang-wenang. Jampang pergi ke Tanah
Abang sambil melewati rumah para tuan tanah dan orang-orang kaya serta rumah
para centeng.Sungguh sangat berbeda, rumah
mereka penuh dengan perabotan mahal. Dari mana lagi kalau bukan dari hasil
memeras penduduk.
Jampang di pasar Tanah Abang
sampai menjelang Ashar. Kemudian pergi ke rumah seorang tuan tanah, mengamati
dengan cermat keadaan rumah, berapa centeng yang menjaga, bagaimana jalan masuk
yang tepat. Setelah itu Jampang pergi ke langgar, menunggu sambil sholat
Maghrib dan Isya.
"Anak siape ? "
tanya imam sekaligus ustadz langgar menyapanya
"Aye Jampang pak
imam" jawab Jampang
" Anak dari mane? "
" Aye dari Kebayoran
Lama"
" Ada keperluan apa
singgah di kampung ini ?"
" Aye pengen ngambil
milik aye yang dirampok tuan tanah", "Hati-hati nak, banyak
jagoannya." .
" Pan aye punya penolong
" " Siape ?"
" Nyang diatas, Allah
"
Imam langgar geleng kepala.
Jampang segera mengambil wudhu dan azan Maghrib. Kemudian shalat Maghrib
berjamaah.
Selesai sholat, imam langgar
mengajak Jampang makan di rumahnya. Jampang tidak menolak, mengikuti imam
langgar menuju rumah imam langgar. Sambil jalan imam langgar berkata,
"Malam ini ada pertunjukan di kampung sebelah, biasanye lewat Isya para
centeng dan tuan tanah pergi".
"Terima kasih pak
ustadz."
Setelah sholat Isya, Jampang
bergerak perlahan mendekati rumah tuan tanah. Dari kejauhan terlihat kerumunan
orang. Para centeng dengan golok di pinggang sambil menyulut rokok sebagian
duduk, sebagian berdiri.
Kemudian keluar seorang yang
barangkali tuan tanah. Kemudian kerumunan itu pergi dari rumah itu menuju ke
kampung sebelah menonton pertunjukan Gambang Kromong.
Jampang dengan cermat
mengawasi kepergian tuan tanah dan para centengnya. Setelah mereka berlalu
beberapa saat, Jampang masih tetap di tempatnya untuk mengawasi keadaan rumah.
kemudian keluar seorang lelaki, menutup pintu pagar lalu masuk kembali ke dalam
rumah. Jampang bergerak perlahan-lahan sambil mengawasi keadaan sekitarnya.
Suasana sepi, gemerisik angin dan suara jangkrik memecah kesunyian malam.
Jampang melompati pagar rumah tuan tanah, kemudian merangsek maju mendekati
jendela, menempelkan telinga pada kayu dan jendela. Terdengar suara perempuan
sedang berbincangbincang didalam rumah.
" Nyak, kalung aye belon
juge dibeliin kapan nyak ? "terdengar suara perempuan muda, mungkin anak
tuan tanah.
" Entar kalo si Rochim
ame babe lu, pasti lu punya kalung juga" ujar perempuan tua, mungkin
isteri tuan tanah.
" Babe sih seneng ingkar
janji, bukannya beliin untuk aye, tapi buat gendak-gendaknya. "
" Kagak bener lu omongin
babe lu, durhaka nak."
" Biarin, abisnye aye
kagak dibeliin gelang " " Sono tidur, pan udah malem "
Jampang bergeser ke jendela
lainnya, memasangkan telinga untuk mendengar, tak ada suara apa-apa, mungkin
sudah tidur. Dengan perlahan-lahan menggunakan tenaga dalam, Jarnpang membuka
jendela lalu melompat masuk. Seorang lelaki yang sedang tidur ayarn tersentak
bangun,Jampang dengan
sigap membekuk laki-laki itu untuk tidur kembali, sebuah pukulannya membuat
lelaki itu terkulai layu tak berdaya. Jampang kemudian bergerak kekamar tidur tuan tanah.
Tangannya mengetuk pintu perlahan-lahan, terdengar suara panggilan dari dalarn
karnar.
" Siape, elu Min ?"
tanya isteri tuan tanah.
"Aye nyah" ujar
Jarnpang memalsukan suara" Ada ape sih? Lu mau nonton ?" " lye
nyah "
Terdengar langkah menuju
pintu, pintu terbuka, dalam waktu tak lebih dari dua detik, Jampang berhasil
membekuk isteri tuan tanah. Goloknya ditodong ke Ieher isteri tuan tanah.
"Tunjukan mane lemari lu
"Jampang mengarah isteri tuan tanah ke lemari di dalam kamar.
"Jangan !" ujar
isteri tuan tanah.
" Lu teriak gue sabet
leher lu."
Jampang membuka pintu lemari,
ternyata terkunci. Jampang menekan ujung goloknya ke leher isteri tuan tanah.
" Ampun, " ujar
isteri tuan tanah minta belas kasihan " Ambilin kuncinya, cepat!"
" Lepasin aye"
" Tidak, mana kuncinya
?"
lsteri tuan tanah menunjuk kearah
kasur. Jarnpang mengarah isteri tuan tanah ke sisi kasur, kemudian mengangkat
kasurnya, mengambil kunci. Kemudian Jampang mengikat isteri tuan tanah dan
menyumpal mulutnya dengan kain.
Jampang membuka lemari,
mengarnbil uang dan emas yang ada dalam lemari, kemudian uang emas dan beberapa
potong kain sarung dikumpulkan dalam sebuah kain sarung. Lalu Jampang mendekati
isteri tuan tanah, melucuti kalung,gelang serta cincin yang
dipakai isteri tuan tanah.
"Hei perempuan, lu pikir
semua bande ini milik lu?" ujar Jampang seraya menengadahkan kepala isteri
tuan tanah dengan tangannya.
"Bande ini laki lu
rarnpas dari rakyat, ini semua keringat penduduk, yang kerjanya setengah mati,
lu enak-enak main rampas," ujar Jampang menatap tajam ke muka isteri tuan
tanah.
Jarnpang kemudian keluar dari
kamar tersebut, menutup pintunya perlahan-lahan, berjingkat ke arah kamar yang
tempat ia masuk, melompat lewat jendeia kemudian mendekati pagar, lalu melompat
keluar. Jampang melangkah waspada, tidak melalui jalan yang biasa dilalui
orang. Ia mengambil jalan lewat tegalan sawah menuju ke Kebayoran. Jampang tiba
di rumahnya saat hampir subuh. Selama perjalanan, Jampang membagi-bagikan
sebagian rampasannya ke rumah-rumah penduduk miskin. Sampai di rumah, Jampang
segera menyimpan sisa rampasan, lalu mengambil air wudhu, melaksanakan sholat
subuh. Memohon ampun kepada Allah tindakan yang terpaksa dilakukan, kemudian
tidur lelap. Setelah peristiwa tersebut, Jampang mencari tahu tentang tuan tanah
tersebut semakin bengis dalam menagih
pajak, tidak perduli keluhan penduduk mengapa tagihan pajak begitu cepat dari waktunya. "Pan pajeknye udah aye
bed kemarin" ujar penduduk pada centeng.
"Diam lu, ngebacot gua
golok " hardik centeng.
Jampang yang menyaksikan
keadaan tersebut, tidak bisa menahan diri. Jampang menghadang beberapa orang
centeng yang baru saja merampas dari sebuah rumah penduduk.
"Minggir lu bangsat !
" hardik centeng pada Jampang.
" Serahin semua bawaan
lu " pinta Jampang.
" Lu mau ngerampok
?"
" Emang kenape, lu juga
ngerampok," ujar Jampang tenang.
Centeng-centeng segera
mengayunkan goloknya ke arah Jampang. Dengan sigap Jampang melayani perkelahian
dengan para centeng. Seorang centeng yang mencoba melarikan barang, segera
dijegal Jampang. Perkelahian menjadi seru. Satu persatu centeng berhasil
dilumpuhkan, kemudian Jampang melemparkan golok mereka ke rumput ilalang, lalu
menghardik mereka.
" Bangun ! pergi atau
gue cabut nyawa elu-elu"
Para centeng dengan susah
payah bangun, kemudian terbirit-birit menjauh dari Jampang, kemudian hilang
dari pandangan.
Penduduk segera berdatangan,
Jampang melemparkan barang-barang rampasan dari centeng kepada penduduk. "
Ambil yang kalian punya" ujar Jampang.
Para penduduk memilih barang
mereka kemudian mendekati Jampang, sebagian berlutut ingin mencium kakinya.
" Jangan ! gue bukan
Belande, bangun ! pulang kerumah masing-masing " seru Jampang.
" Terima kasih, Bang
" penduduk memberi hormat. Kemudian Jampang berlalu dari tempat itu.
Jampang terus melakukan
aksinya setiap malam ke rumah tuan tanah, rumah para centeng dan rumah orang
kaya. Jampang terus berpindah tempat diantaranya Grogol, Pasar Ikan, Tanjung
Priok dan Tambun Bekasi. Selain melakukan aksi perampasan malam hari, Jampang
juga selalu menghadang para centeng yang menagih pajak atas penduduk. Karena
aksinya, namanya dikenalluas oleh penduduk si Jampang dihormati dan
dielu-elukan kehadirannya, sedangkan bagi para centeng,tuan tanah, demang dan
Belanda, si Jampang sangat dibenci dan diburu.
Penguasa penjajah mengerahkan
polisi untuk mengintai si Jampang, tetapi karena ia selalu berpindah-pindah
tempat operasinya, sulit bagi polisi Belanda menangkapnya, sementara jagoan
centeng para tuan tanah tidak mampu membunuh Jampang dalam setiap perkelahian.
Akibat keberhasilan yang selalu memihaknya Jampang digelari penduduk sebagai Si
Jampang Jago Betawi.
Sehari harinya Jampang sangat
memperhatikan anaknya. Anaknya dititipkan di rumah mertuanya. Setiap ada
kesempatan Jampang mendatangi rumah mertuanya menemui anaknya. Baru setelah
anaknya berusia diatas sepuluh tahun. Jampang mengajak tidur dirumah mereka,
jika kebetulan menginap di rumah, jika Jampang beroperasi, anaknya dititipkan
dirumah mertua. Jampang tak ingin mertuanya dan anaknya susah, karenanya
Jampang tidak beroperasi
dikampungnya. Jampang juga mengajarkan
anaknya ilmu serta ilmu agama seadanya jika kebetulan di rumah. Anaknya tumbuh
menjadi dewasa dan kekar. Mencapai usia 15 tahun, Jampang berkata pada anaknya.
"Eh lu tong, gua mau
nanya ame lu. lu mau sekolah apa lu mau ngaji?" Tanya Jampang.
"Ngaji aye nggak mau,
sekolah juga aye ogah. Aye kepengen belajar main pukul kaye babe".
"Lu jangan main pukul
kaya bapak lu, kalau lu ogah semua, baekan lu kawin aje dah".
"Aye kagak mau kawin be,
kalau gitu aye mendingan sekolah aje, kalau babe mau kawin, babe aja dah yang
kawin". Jampang tertawa mendengarkan jawaban dan usulan anaknya
"Kalo lu punya nyak lagi,
gua punya kawan yang bernama Sarba di tanah perkembangan Tambun" kata
Jampang. Jampang kemudian menyerahkan anaknya pada seorang guru ngaji. Setelah
itu Jampang pergi ke tanah perkembangan menemui Sarba temannya.
Di tanah perkembangan Jampang
di sambut oleh Si Ciput pembantu rumah tangga Sarba. Jampang gembira sekali
karena akan bertemu temannya yang sudah lama berpisah.
"Eh Put kemana
Sarba?" tanya Jampang antusias.
"Sarba pan udah
meninggaI" ujar Ciput tenang menjawab pertanyaan Jampang. Jampang kaget
bukan kepalang, Jampang bagaikan tak percaya pada pertanyaan Ciput.
"Hah! Masa iye Put,
Sarba udah meninggal ??? kalo gitu istri Sarba si Mayangsari menjande ye
Put?" Jampang berkelakar.
"Betul" jawab Ciput
tersenyum.
"Wah, kebetulan sekali
Put, gua sedang kagak punya bini, bini gua udah meninggal Put. Coba lu omongin
ame Si Mayangsari. Put, ape mau die kawin arne gua?" Jampang minta Ciput
untuk memberitahukan keinginannya pada Mayangsari.
Ciput masuk ke dalam rumah,
sementara Jampang duduk di serambi rumah. Beberapa waktu kemudian Ciput dan
Mayangsari menemui Jampang, Jampang tersentak bangun dan menyalami Mayangsari.
"Mayangsari ... Abang
Sarba pergi kemane?" Jampang berpura-pura tidak tahu.
"Abang lu jangan
ditanya, Sarba telah lama meninggal dunia" Mayangsari menjawab dalam nada
sedih.
"Sakit apa abang Sarba
kok aye nggak dikabarin" Mayangsari kemudian menjelaskan.
PUISI
IBU....
mengalir,
bila mendengar tangisan si kecil,
masih merah salutan darah kelahiran.
Biarpun penat bersabung nyawa,
senyuman tetap terukir
ceria memekar taman jiwa.
Segala puncak sengsara
hancur semerta,
selamat zuriat melihat dunia...
Air mata ibu
menitis lagi,
bimbang resah mengulit diri,
sepanjang malam berjaga gelisah,
kerana si kecil masih mentah
meraung sakit ditimpa musibah...
Hari itu,
air mata ibu
bergerimis lagi,
bukan kepiluan
tapi kebanggaan,
melihat permata digilap kejayaan
tak kering bibirnya dengan senyuman,
tak lekang lidahnya pujian kesyukuran...
Takdir tuhan siapa menyangka,
harap panas bertahan
sang hujan bertamu ditengah laman...
Tika ini,
air mata ibu
bergenang kelukaan,
hati tua robek
sarat calaran,
permata kebanggaan
hilang kilauan kemanusiaan,
didikan tinggi tiada pedoman,
akibat gelap hati iman
harta nafsu jadi panduan...
Kemuliaan ibu,
hilang
ditimbus padam,
insan mulia
yang sarat pengorbanan
ditinggal gersang...
Rintihan si ibu,
Kesepian...
Kesedihan...
Kekecewaan...
Bukan balasan jasa
pintaan jua,
cukuplah secebis kasih permata
sementara jasad bersisa nyawa
biar tenang menutup mata...
AKU RINDU IBU
Oleh Ferti Lestari
Ibu
Ketika aku di kandungmu
Ibu telah menopang seluruh hidupku
Bahkan ketika aku di lahirkan
Senyum itu terlukis nyata di bibirmu
Tanpa merasa lelah akan ku
Ketika aku mulai tumbuh dan merengek
Ibu sabar merawat dan menyayangiku
Dan ketika aku mulai tumbuh dewasa
Ibu tetap sabar menghadapi tingkahku
Tatkala aku berteriak di depan wajahmu yang lesu
Dan kini
Ketika ibu dan aku di pisahkan oleh jarak
Baru aku tersadar
Waktu yang dulu terbuang
Waktu yang dulu ku sia-siakan saat bersamamu
Waktu dimana peluhmu membasahi tubuhmu
Namun aku dengan congkaknya membentakmu
Dengan kasarnya aku memakimu
Dengan bodohnya aku ibu . . .
Aku yang tak pernah puas akan kerja kerasmu
Memikul keranjang sayur itu
Menjajakannya ke rumah-rumah
Tanpa merasa malu sedikitpun
Kau lakukan untuk memenuhi kebutuhanku
Ibu . . . .
Aku rindu belai lembut
Aku rindu berada di sampingmu
Aku rindu memelukmu
Ibu
Ingatkah saat kau mengusap air mataku
Aku ingin ibu mengusap air mataku seperti saat itu
Saat ibu merangkulku dalam kesedihan
Aku ingin di rangkul kembali olehmu
Ibu
Bisakah kau katakan pada NYA
Untuk memutar kembali waktu itu ibu
Aku ingin memelukmu ibu
Aku ingin mengusap air matamu
Air mataYang dulu menetes karna sikapku
Aku ingin menggantikanmu menggendong keranjang itu
Yang dulu selalu kau bawa mengelilingi kampong
Ibu
Aku ingin sepertimu
Yang tegar menghadapi kerasnya hidup ini
Yang berani berkorban demi buah hatinya
Ibu
Walau aku sering membentak dan memakimu
Tak pernah ada rasa benci di hatimu
Bahkan di matamu
Selalu terlukis akan kebesaran cintamu
Yang tertuang lewat pengorbananmu
Ibu
Masih pantas kah aku memanggilmu
Masih pantaskah aku menjadi anakmu
Ibu
Maafku pun tak pernah bisa menyembuhkan luka hatimu
Luasnya lautan tak kan bisa membalas kasih sayangmu
Bahkan dunia ini pun
Takkan pernah bisa menjadi penggantimu
Ibu
Izinkan aku memelukmu
Biarkan aku mengusap air mata lelah itu
Biar kini ku tanggung bebanmu
Sebagai wujud kecintaaku padamu
Walau semua itu
Takkan mungkin mengganti
Ribuan air mata yang kau teteskan
Jutaan rasa lelah yang kau rasakan
Karna aku yang tak pernah menyadari pengorbananmu
Ibu
Betapa bodohnya aku
Yang membiarkanmu lelah dan terluka untuk ku
Ibu
Kini …. Rasa sakit itu terasa amat pedih
Tatkala ibu tak lagi di sampingku
Maafkan aku ibu
Maafkan anakmu ini
Aku rindu ibu
MENCINTAIMU MEMBUATKU LARA
Oleh Fatma DSR
Tak terasa hari demi hari..waktu terus berganti
.......Puluhan tahun telah berlalu
Masih saja kau menoreh luka untukku
Luka yang tak kunjyng sembuh...
Sudah sering kau ucapkan janji..tapi selalu kau ingkari
Seringkali ucapanmu..sungguh sangat mengguris hati ini
Entah sampai kapan kau tahu bahwa aku sangat menyayangimu..
Bahkan sedetikpun ku tak sanggup jauh darimu...
Kumemilih bertahan atas sikapmu ..karna rasa sayang ini
Sampai kapan kau sadari semua itu...
Aku hanya ingin hatimu,
kasihmu,sayangmu dan juga rasa
cintamu
Bukan kemewahan yang kuinginkan..
Hargailah perasaanku...Jagalah hatiku
Jangan sampai hati ini beku,karena kau tak acuh
Rindu ini menyakitiku..hingga relung hati terdalam..
Padahal mencintaimu membuatku lara..
Tapi kutak bisa lepas darimu,ku tak ingin tinggalkanmu..
Aku teramat sangat mencintaimu..
Aku ingin hidup denganmu 1000 tahun lagi
Mungkinkah kau tahu semua itu...?
SEJARAH
Inilah
Istana Niat Lima Laras. Sebuah situs peninggalan sejarah masyarakat Melayu
pesisir. Istana ini lebih dikenal dengan nama Lima Laras. Meskipun namanya
tidak sebesar dan tenar dari Istana Maimun di Medan, namun Istana yang dibangun
pada tahun 1907 dan selesai 1912 ini, menyimpan kisah perjalanan dan perjuangan
bangsa Indonesia, dimasa penjajahan Belanda. Terutama perjuangan masyarakat
Melayu ketika itu.Mengunjungi
dan melihat langsung kondisi Istana Lima Laras di Tanjung Tiram, Kabupaten Batu
Bara, Sumatera Utara seakan berada di masa lalu. Tak heran Istana penuh
nostalgia dan kenangan, ini masih dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun manca
negara, ketika memasuki hari libur dan hari-hari besar. Menuju Istana Lima
Laras butuh waktu lebih kurang 3 jam dari pusat Kota Medan, atau lebih kurang 120
km melalui jalan darat Medan menuju Kabupaten Batubara. Sesampainya disana,
kami pun bertemu dengan Amirsyah (35) suami dari Syamsiah (33)) anak ke 2 dari
Datuk Muhammad Azminsyah (72), yang merupakan
pemangku adat Melayu Istana Lima Laras saat ini. Datuk Muhammad Azminsyah
adalah cucu dari pendiri Istana Lima Laras, Datuk Matyoeda, Raja ke XIII
dari Kerajaan Lima Laras. Singkat cerita, sejarah dan awal berdirinya Istana
Lima Laras inipun semakin seru untuk ditelusuri.Sesuai dengan namanya, Istana
Lima Laras berada di Desa Lima Laras, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batu
Bara, Sumatra Utara. Walaupun sedikit terlihat usang, namun Istana Lima Laras
masih berdiri kokoh, ditengah keberagaman dan kemajuan zaman saat ini. Bahkan
umur Istana inipun telah mendekati 1 abad. Namun sayang istana yang sempat
megah disepanjang abad 20 ini, kurang mendapat perhatian serius sebagai situs
peninggalan sejarah budaya Melayu dan bangsa Indonesia .
Warna hijau
dan sedikit kelihatan kusam pada bangunan Istana Lima Laras, seolah menjadi
icon kemegahan Istana. Namun sayang itu hanya sebuah kiasan belaka. Bila kita
memasuki bahagian dalam Istana Lima Laras ini, kondisinya sangat
memprihatinkan. Lantai dan dinding bangunan Istana masih berbahan kayu, dan
hampir sebahagian sudah lapuk tanpa perawatan bahkan rusak termakan usia.
Padahal sesungguhnya bangunan Istana ini, sangat mengagumkan. Hampir
keseluruhan bahan bangunan Istana, menggunakan kayu ukiran bernuansa Melayu.
Keseluruhan dinding, jendela, dan pintu, bentuknya sangat unik dan menakjubkan
karena penuh dengan lukisan dan ukiran yang cantik.
Secara
geografis, Istana Lima Laras menghadap ke arah Utara atau menghadap lautan.
Istana ini memiliki empat anjungan dari empat arah mata angin. Sepintas bila
dilihat dari depan, hampir mirip kapal yang berlayar di laut. Istana Lima Lima
Laras memang masih terlihat megah, itu karena Istana ini dibangun dengan empat
lantai di dalamnya. Lantai pertama terbuat dari beton, dilengkapi balai dan
ruang atau tempat bermusyawarah masyarakat adat Melayu ketika masa pemerintahan
Datuk Matyoeda. Di lantai dua, tiga dan empat terdapat sejumlah kamar dengan
ukuran sekitar 6 x 5 meter. Kamar-kamar ini biasanya juga digunakan untuk para
tamu kerjaan, yang datang berkunjung ke Istana Lima Laras. Sehingga jangan
heran kalau Istana termegah di zaman kolonial Belanda ini, paling banyak pintu
dan daun jendelanya. Ada sekitar 28 pintu dan 66 pasang daun jendela di Istana
ini. Untuk
melihat lebih jelas dan detail lagi tentang Istana Lima Laras, kami pun di ajak
oleh Amirsyah (35) menantu dari cucu Datuk Matyoeda berkeliling diruangan dalam
Istana. Didalam ruangan tengah, terlihat sebuah tangga dengan model berputar
yang terbuat dari kayu, tangga ini terlihat begitu indah. Seni ukiran dan model
tangga, sudah menggunakan model dari Eropa. Namun 27 anak tangga diruangan
Istana, juga masih berbahan dasar kayu. Inilah keunikan dan keistimewaan Istana
Lima Laras. Namun sayang bila ingin berkunjung ke Istana yang pernah megah ini,
jangan bayangkan masih bisa melihat tangga putar itu masih utuh. Beberapa anak
tangga ada yang sudah rusak dan patah. Harus hati-hati bila ingin menuju ke
lantai dasar Istana. "Konidisi istana memang sudah banyak yang rusak,
namun perbaikan terus dilakukan pihak keluarga kami untuk menjaga keutuhan
Istana.Renovasi terakhir dibantu oleh pemerintah Asahan tahun 1980 an dengan
biaya perbaikan Rp 234 juta", terang Amirsyah kepada Medan Bisnis.
Padahal
upaya melestarikan istana sangat penting mengingat sejarah dan nilai budaya
yang dikandungnya. Istana Lima Laras tidak dihuni lagi. Malam hari, tidak ada
penerangan berarti. Halaman istana juga ditumbuhi semak yang tingginya bisa
mencapai satu meter lebih Terakhir kira-kira tahun 1998 dilakukan rehap
genteng, selanjutnya karena kondisi keuangan keluarga, rehap Istana pun
dilakukan secara kecil-kecilan.
Selain
bangunan dan lantai Istana yang mulai usang, Singgasana dan perlengkapan
ruangan Istana Lima Laras juga sudah tidak terliha lagi. Namun bukan rusak atau
terjual, tetapi pihak keluarga kerjaan terpaksa harus menyimpan dan merawatnya
agar tidak rusak. Datuk Muhammad Azminsyah (72) cucu kandung Datuk Matyoeda.
Beliau beruntung masih menyimpan beberapa barang pusaka perlengkapan Istana
milik kakeknya.
Seperti
tempayan besar dengan ukiran naga, sejumlah barang pecah-belah, dua buah pedang
dan sebuah tombak. Barang itu disimpan di rumahnya yang berjarak sekitar 100
meter dari istana. Istana Lima Laras sekarang ini memang tengah dalam tahap
perbaikan. Lantai satu dan dua bagian belakang istana sudah diperbaiki dan
dicat.
Perbaikan
kecil itu sifatnya hanya menunda kehancuran, sebab bangunan utama di bagian
depan masih berantakan. Dinding-dinding sudah bercopotan papannya, demikian
juga atap dan lantai. Beberapa tiang penyangga yang terbuat dari kayu pun
bernasib serupa. Menurut Maddin, 70, yang sehari-hari menjaga istana tersebut,
biaya perbaikan itu berasal dari pihak keluarga. "Bantuan pemerintah sudah
lama tidak ada. Kalau hari-hari libur seperti lebaran, ada tambahan biaya
perbaikan dari kutipan masuk Rp500 per orang," kata Maddin. Di depannya
ada bangunan kecil tempat dua meriam berada. Hampir keseluruhan bangunan
berarsitektur Melayu, terutama pada model atap dan kisi-kisinya. Akan tetapi
ada juga beberapa bagian istana berornamen China. Kecuali batu bata, bahan
bangunan seperti kaca untuk jendela dan pintu didatangkan dari luar negeri.
Istana Lima
Laras berada di atas tanah seluas 102 x 98 meter. Pendirinya Datuk Matyoeda,
Raja ke XIII dari Kerajaan Lima Laras yang lahir pada tahun 1883 dan
akhirnya wafat pada tahun 1919. Tepatnya 7 tahun Istana Lima Laras berdiri dan
menjadi pusat pemerintahan di Batubara. Makamnya pun masih dapat kita lihat
dikawasan Istana Lima Laras. Datuk Matyoeda adalah putra tertua dari Raja
sebelumnya, yakni Datuk H. Djafar gelar Raja Sri Indra. Menurut sejarah,
kerajaan Lima Laras diperkirakan telah ada sejak abad ke XVI, dan tunduk pada
Kesultanan Siak di Riau. Semula istana ini bernama Istana Niat Lima Laras,
karena rencana pembangunannya berdasarkan niat Datuk Matyoeda untuk mendirikan
sebuah istana kerajaan. Sebelumnya pusat pemerintahan, sering
berpindah-pindah karena belum punya istana yang permanen.
Niat Datuk
Matyoeda untuk mendirikan istana bermula dari keputusan Belanda yang melarang
para raja berdagang. Tidak jelas alasan larangan ini. Matyoeda yang kerap
berdagang ke Malaysia, Singapura dan Thailand dan memiliki kapal besar tentu
saja gusar. Apalagi pada saat keputusan keluar, beberapa armada dagangnya
sedang berlayar ke Malaysia. Dengan adanya larangan ini, nasib kapal bersama
isinya itu tidak terjamin lagi. Bisa disita Belanda setibanya kembali di
Asahan, atau bisa tetap tinggal di Malaysia yang dulu masih bernama Malaka.
Matyoeda
berniat, jika dagangan terakhirnya selamat, hasilnya akan digunakan membangun
istana. Rupanya kapalnya kembali dengan selamat. Maka dia kemudian membangun
istana itu dengan biaya 150.000 gulden dan memimpin langsung pembangunan istana
dengan mendatangkan 80 orang tenaga ahli dari China dan Pulau Penang, Malaysia
serta sejumlah tukang dari sekitar lokasi pembangunan istana. Matyoeda bersama
keluarga dan unsur pemerintahannya mendiami istana sejak 1917, walaupun pada
saat itu istana masih belum rampung. Waktu wafatnya pada 7 Juni 1919, sekaligus
penanda berakhirnya masa kejayaan kerajaan Lima Laras. Tahun 1942 tentara
Jepang masuk Asahan dan menguasai istana.Kekuasaan
Jepang di Indonesia sejak Maret 1942 hingga 1945 mengakibatkan keadaan yang
semakin carut-marut. Tiga hari setelah jatuhnya bom di Hiroshima, Soekarno
memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Di saat yang sama pula, diumumkanlah
pemerintah Republik Indonesia dengan Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta
sebagai Wakilnya. Dengan demikian, dimulailah revolusi republik di seluruh
wilayah Indonesia. Sebagian raja dan kesultanan dihabisi para kaum nasionalis
dan bala tentara Jepang.Keluarga
Kesultanan Deli dan Serdang terselamatkan berkat penjagaan tentara Sekutu yang
sedang bertugas di Medan untuk menerima penyerahan dari Jepang. Sementara di
Serdang, beberapa orang keluarga raja sedari awal telah mendukung rakyat
menentang Belanda.
Akan tetapi,
di Langkat, Istana Sultan dan rumah-rumah kerabat diserang dan rajanya dibunuh
bersama keluarganya termasuklah penyair besar Indonesia, Tengku Amir Hamzah
yang dipancung di Kuala Begumit. Keganasan
yang paling dahsyat terjadi pada bulan Maret 1946 di Asahan dan di
kerajaan-kerajaan Melayu di Labuhanbatu seperti Kualuh, Panai dan Kota Pinang.
Di Labuhanbatu, daerah yang paling jauh dengan Kota Medan tidak dapat
dilindungi asukan sekutu. Istana raja dikepung dan raja-rajanya pun dibunuh
seperti Yang Dipertuan Tengku Al Haji Muhammad Syah (Kualuh), Sultan Bidar Alam
Syah IV (Bilah), Sultan Mahmud Aman Gagar Alam Syah (Panai) dan Tengku Mustafa
gelar Yang Dipertuan Besar Makmur Perkasa Alam Syah (Kota Pinang).
Masa Agresi
Militer II, istana Lima Laras kembali ke tangan Republik dan ditempati Angkatan
Laut Republik Indonesia di bawah pimpinan Mayor Dahrif Nasution.
Inilah
peninggalan raja-raja tempo dulu, yang kini sulit dilestarikan, karena
pemerintah sama sekali kurang memerhatikan cagar budaya nasional. Budaya,
sesungguhnya bisa dijual untuk kepentingan bangsa dan negara, lewat wisata
budaya yang ditinggalkan para sultan atau raja-raja tempo doeloe.
SEJARAH KABUPATEN BATUBARA
Wilayah Batu Bara telah dihuni oleh penduduk sejak tahun 1720 M, ketika itu di Batu Bara terdapat 5 (lima) suku penduduk yaitu “Lima Laras, Tanah Datar, Pesisir, Lima Puluh dan Suku Boga”. Kelima suku tersebut masing-masing dipimpin oleh seorang Datuk yang juga memimpin wilayah teritorial tertentu. Ketika itu Batu Bara menjadi bagian dari kerajaan Siak dan Johor. Untuk mewakili kerajaan Siak dan mengepalai Datuk-Datuk seluruh Batu Bara diangkat seorang Bendahara secara turun temurun. Setiap Datuk kepala suku mendapat pengangkatan dan capnya dari Sultan Siak. Susunan pimpinan Batu Bara pada waktu itu ialah Bendahara dan di bawahnya terdapat sebuah Dewan yang anggota-anggotanya dipilih oleh Datuk-Datuk kepala suku bersama-sama. Anggota Dewan ini adalah: 1. Seorang Syahbandar, tetap dipilih orang yang berasal dari suku Tanah Datar. 2. Juru Tulis, dipilih yang berasal dari suku Lima Puluh. 3. Mata-Mata, dipilih orang yang berasal dari suku Lima Laras. 4. Penghulu Batangan, dipilih orang yang berasal dari suku Pesisir. Nama Batu Bara (Batubahara) sudah tercantum dalam literatur di abad ke-16 yang membayar upeti kepada Haru. Laporan Pemerintah Inggris dari Penang, Jhon Anderson, mengunjungi Batu Bara pada tahun 1823 dalam bukunya “ Mission to The Eastcoast of Sumatra” sebagai berikut: “Di hulu sungai Batu Bara ada sebuah bangunan batu yang tidak ada tercatat bila dibangun di kalangan penduduk. Bangunan itu dilukiskan sebagai bentuk empat persegi, dan di salah satu sudutnya ada tiang yang sangat tinggi, mungkin tiang bendera. Lukisan relief manusia diukir di dinding, yang mungkin dewa-dewa Hindu .....”. Menurut Shadee, dalam bukunya “Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust”, pada permulaan kedatangan Belanda ke Sumatera Timur di tahun 1862, wilayah Pagurawan dan Tanjong berada langsung di bawah jajahan Datuk Lima Puluh dari Batu Bara yang kemudian tunduk pula kepada Siak. Dalam tahun 1885, Pemerintah Hindia Belanda membayar ganti rugi kepafa Pemerintah Kerajaan Siak sehingga kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur Lepas dari kerajaan Siak dan berhubungan langsung dengan Pemerintah Hindia Belanda yang diikat dengan perjanjian Politik Contract (27 pasal). Perjanjian Politik Contract tersebut meliputi beberapa kerajaan seperti Langkat, Serdang, Deli, Asahan, Siak, Pelalawan (Riau), termasuk juga kerajaan-kerajaan kecil seperti Tanah Karo, Simalungun, Indragiri dan Batu Bara serta Labuhan Batu. Pada tahun 1889 residensi Sumatera Timur terbentuk dan beribukota di Medan, residen Sumatera Timur ini terdiri dari 5 (lima) Afdeling yaitu: 1. Afdeling Deli yang langsung di bawah Residen di Medan. 2. Afdeling Batu Bara berkedudukan di Labuhan Ruku. 3. Afdeling Asahan berkedudukan di Tanjung Balai. 4. Afdeling Labuhan Batu berkedudukan di Labuhan Batu. 5. Afdeling Bengkalis berkedudukan di Bengkalis. Wilayah Batu Bara saat itu merupakan Afdeling (Kabupaten) tersendiri beribukota di Labuhan Ruku di samping Afdeling (Kabupaten) Asahan. Afdeling Batu Bara itu terdiri dari 8 (delapan) Landschap (setara dengan Kecamatan). Masing-masing landschap ini dipimpin oleh seorang raja. Di dalam Afdeling Batu bara termasuk di dalamnya wilayah Batak di perdalaman (Simalungun). Berdasarkan Sensus Penduduk yang diselenggarakan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1933, penduduk asli Batu Bara berjumlah 32.052 jiwa. Pada saat Indonesia merdeka wilayah Batu Bara berubah nama. Sebutan Landschap menjadi Kecamatan. Khusus Batu Bara lebih dahulu digelar namanya Kewedanan. Kewedanan Batu Bara beribukota Labuhan Ruku yang waktu itu membawahi 5 (lima) Kecamatan yaitu: Kecamatan Talawi, Tanjung Tiram, Lima Puluh, Air Putih dan Medang Deras. Hal ini terjadi hingga 4 (empat) masa kepemimpinan Kewedanan, nama Kewedanan dicabut sehingga yang ada hanya 5 (lima) kantor camat dan tergabung dengan wilayah Asahan dengan nama Kabupaten Asahan yang beribukota di Kisaran. Pada tahun 1969 masyarakat Batu Bara pernah membentuk Panitia Penuntut Otonom Batu Bara (PPOB) yang diketuai oleh Abdul Karim AS, seorang tokoh masyarakat dan pernah menjadi anggota DPRD Asahan. PPOB ini berkedudukan di Jalan Merdeka Kecamatan Tanjung Tiram, tetapi karena Undang-Undang Otonomi belum dikeluarkan Pemerintah sehingga perjuangan ini kandas sebelum berhasil terbentuk Kabupaten Batu Bara yang otonom. Pada era reformasi lebih kurang 30 tahun setelah terbakarnya kantor PPOB di Tanjung Tiram, dengan adanya Ketetapan MPR No.XV/MPR/1998 yang meminta kepada Presiden untuk dilakukannya penyelenggaraan Otonomi Daerah, tepatnya pasca lahir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang semakin mempertegas makna penyelenggaraan Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggungjawab serta membenarkan adanya pemekaran atau pembentukan suatu daerah menjadi lebih satu daerah, sebagaimana tertuang dalam pasal 6 ayat 2 yang berbunyi “Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah”. Undang-Undang ini menjadi landasan perjuangan masyarakat Batu Bara untuk kembali menuntut menjadi wilayah Batu Bara menjadi sebuah daerah Kabupaten yang otonom yang bisa mengatur dirinya sendiri dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dalam kemandirian. Badan Pekerja Persiapan Pembentukan Kabupaten Batu Bara (BP3KB) yang berkedudukan di Medan berupaya untuk meneliti dan menjajaki lebih lanjut kemungkinan terbentuknya Kabupaten Batu Bara yang otonom. Sejalan dengan itu di kecamatan-kecamatan lahir pula gerakan masyarakat yang menuntut dibentuknya Kabupaten Batu Bara yang menamakan diri sebagai Gemkara “Gerakan Masyarakat Menuju Kabupaten Batu Bara”. Kabupaten Batu Bara akhirnya terbentuk setelah pihak legislative (DPR-RI) dalam Sidang Paripurna pada hari Jum’at tanggal 8 Desember 2006 membahas tentang pembentukan Kabupaten Batu Bara dan dinyatakan syah menjadi sebuah Kabupaten melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Batu Bara di Propinsi Sumatera Utara dan Lampiran Negara Nomor 7 Tahun 2007. Sumber: Skripsi: Ahmad Akbar, NIM 03310664. Potensi Kabupaten Batu Bara Dalam Penentuan Ibukota Kabupaten. Medan : Jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu Sosial UNIMED. 2008. Geografis: Kabupaten Batubara merupakan pemekaran dari Kabupaten Asahan dimana tujuh kecamatan di Kabupaten Asahan dikurangi dan dipindahkan wilayahnya menjadi wilayah kabupaten Batubara. Kecamatan: Air Putih • Limapuluh • Medang Deras • Sei Balai • Sei Suka • Talawi • Tanjung Tiram Batas Wilayah: Utara Bandar Khalipah (Kabupaten Serdang Bedagai) dan Selat Malaka. Selatan Meranti (Kabupaten Asahan) dan Ujung Padang (Kabupaten Simalungun). Barat Bosar Maligas, Bandar, Bandar Masilam, Dolok Batunanggar (Kabupaten Simalungun) dan Tebingtinggi (Kabupaten Serdang Bedagai). Timur Air Joman (Kabupaten Asahan) dan Selat Malaka. Mengenal Lebih Dekat Kab. Batu Bara Pada tanggal 15 Juni 2007, Kabupaten Batubara resmi menjadi daerah tingkat II ke-26 Propinsi Sumut. Peresmian kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Asahan. Kabupaten baru ini terdiri 7 kecamatan, 98 desa, 7 kelurahan, dengan jumlah penduduk 374.715 jiwa, di mana 25.837 jiwa di antaranya warga miskin. Potensi dimiliki Kabupaten Batubara itu seperti, kelautan, pertanian dan perkebunan. Salah satu peninggalan atau lokasi sejarah tersebut yakni Kubah yang ada di Kecamatan Lima Puluh, merupakan daerah asal mula jadinya Batubara. Daerah Kubah ini merupakan lokasi makam Syekh Marabullah, merupakan pendiri Batubara. Potensi Ekonomi Kabupaten Batubara merupakan daerah potensial untuk berkembang menjadi daerah industri. Betapa tidak, daerah Kuala Tanjung, salah satu desa di Kab. Batu Bara, telah ditetapkan menjadi Daerah Ekonomi Khusus. Ini merupakan pengembangan wilayah industri dari KIM (Kawasan Industri Medan). Sebagai Pioneer berkembangnya wilayah ini adalah PT Indonesia Asahan Aluminium (INALUM), perusahaan patungan antara Perusahaan-perusahaan swasta Jepang dengan pemerintah Indonesia. Perusahaan peleburan aluminium ini merupakan pabrik peleburan aluminium satu-satunya di Asia Tenggara. Selain itu, mengikuti jejak PT INALUM, berdiri juga PT Multimas Nabati Asahan (MNA) yang memproduksi minyak goreng Sania. Kemudian muncul lagi PT Domba Mas, yang kini masih tahap konstruksi. Kini menyusul lagi beberapa perusahaan besar, yang mungkin akan beroperasi dalam waktu dekat ini seperi PLTU, PT Dairi Prima, PT AAA, dan lain sebagainya. Selain itu, Kab. Batu Bara kaya akan hasil laut dan pertanian. Banyak terdapat perkebunan yang terbentang di Kab. Batu Bara. Potensi Wisata Banyak sekali potensi wisata yang masih belum dikelola dengan baik di Kabupaten baru ini seperti: Danau Laut Tador Pantai Perjuangan Pantai Kuala Sipare Pantai Jono Istana Lima Laras Dll Kalau mau tahu lebih banyak tentang Kabupaten Batu Bara, silahkan datang saja langsung ke sana. Kira-kira 120 km dari Medan (3 jam perjalanan). Mau investasi? Ya Kabupaten Batu Bara lah tempatnya. Bahkan, para pengamat ekonomi mengatakan apabila Kabupaten ini dkelola dengan baik, Kabupaten ini akan lebih maju dari kabupaten induknya, Asahan.
Langganan:
Postingan (Atom)