Rabu, 21 Januari 2015

KUALA DELI - TENGKU SYAFICK SINAR

Zulham Djais - Wak Alang Keundangan

Tari Lenggang,lagu Melayu

ala mak kawinkan aku

APA DAH JADI - S. M. SALIM

Dendang Melayu Asahan - Kota Kerang (Tanjung Balai)

ZULHAM DJAIS - KAWIN TAK JADI

Pesta Tapai Di Kab Batubara

Batu Bara Tanah Bertuah

Batubara Song - Edi Kelana - GARA-GARA JANDO

MUSEUM SANG NILA UTAMA PEKANBARU PUSAT KEBUDAYAAN MELAYU

Selasa, 20 Januari 2015

CERITA RAKYAT

 
SI JAMPANG

Anak laki-laki itu dinamakan Jampang. la lahir di Desa Jampang Sukabumi Selatan. Bapaknya berasal dari Banten dan ibunya berasal dari desa ]ampang. Anak laki-laki itu tinggal di rumah pamannya di Grogol Depok. Pamannya sangat sayang kepadanya, selain keponakan, anak laki-laki itu juga yatim piatu yang memerlukan perlindungan. Sang paman membawa Jampang dari desa Jampang ke Grogol Depok. Dirumah pamannya, Jampang dibesarkan. Jampang diperlakukan sebagai anak sendiri. Agar ]ampang memiliki ilmu, bekal hidupnya, oleh pamannya ia disuruh mengaji pada seorang guru ngaji di Grogol Depok. Jampang juga disuruh belajar ilmu bela diri oleh pamannya. Pamannya berkata, "Pang, Lu mesti punya kepandaian silat, karena menegakkan kebenaran tanpa kekuatan adalah sia-sia."
" Aye mang ! " jawab Jampang penuh rasa hormat.
" Lu ikut mamang ke Cianjur, lu belajar silat disana ama kenalan mamang."
" Aye sih pegimane mamang."
Oleh pamannya, Jampang diantarkan ke Cianjur untuk belajar sekaligus menetap dirumah guru silat.
Selain belajar silat, ]ampang membantu guru silatnya, Jampang membantu menanem padi, merapikan rumah. Ditempat guru silatnya, Jampang memperlakukan diri sebagai anak, tidak berpangku tangan. Guru silatnya menjadi sayang, dan dengan rela hati mengajarkan semua kepandaian yang dimiliki termasuk ilmu kebatinan.
Setelah Jampang menyelesaikan menuntut ilmu silat, ia kembali ke Grogol Depok. Guru silatnya berpesan kepadanya agar ilmu yang didapatnya jangan digunakan untuk berbuat kejahatan. Jampang mengangguk setuju, kemudian mencium tangan guru silatnya mohon izin meninggalkan Cianjur kembali ke Grogol Depok "Pang! Salam aye buat mamang lu," ujar Guru silatnya. " Aye, Guru !"
Jampang kembali ke rumah Mamang di Grogol Depok. Dari Cianjur Jampang berjalan kaki melewati jalan setapak naik turun perbukitan menuju Bogor. Dari Bogor Jarnpang menumpang kereta api Buitenzorg-Batavia turun di Depok. Pamannya sangat gembira menyambut kedatangan Jampang yang telah berbulan lamanya meninggalkan rumah untuk menuntut ilmu silat. Oleh pamannya, Jampang diminta meneruskan menuntut ilmu mengaji. Jampang dengan patuh memenuhi permintaan mamangnya. Berkat ketekunan dan kepatuhan untuk menuntut ilmu mengaji, Jampang dengan mudah menyerap ilmu mengaji yang diajarkan gurunya. Gurunya menjadi sayang kepadanya, selama menuntut ilmu mengaji, Jampang juga membantu mamangnya dan guru ngajinya mengerjakan sawah. Setelah merasa cukup memiliki bekal ilmu dan usianya telah menanjak dewasa menjadi seorang pemuda, Jampang merasa sudah saatnya tidak bergantung lagi dengan mamangnya. Jampang menyampaikan keinginannya untuk merantau ke Betawi.
" Kalo emang lu pengen merantau, lu mesti bawa diri, biar orang laen seneng ame lu." mamangnya menasehati " Aye mang." jawab Jampang.
Jampang berangkat ke Betawi, memulai kehidupan mandiri. Di Betawi Jarnpang menuju salah seorang ternan mamangnya di Kebayoran Lama. la diterima menetap dirumah tersebut. Sebagai penumpang, Jampang membantu si empunya rumah berkebun serta berdagang buah di pasar Tanah Abang.
Suasana Kebayoran Lama tempat Jampang menetap di bawah kekuasaan tuan tanah dengan centeng centengnya yang setiap bulan datang menagih pajak kepada penduduk. Bila penduduk tidak punya uang untuk membayar pajak, para centeng tak segan-segan mengambil harta milik yang ada di rumah penduduk. Ada kambing yang terlihat di kandang akan diambil. Keadaan bisa lebih buruk lagi, para centeng akan memukuli orang yang tidak bisa membayar pajak.
Jampang menyaksikan perilaku para centeng yang tidak punya perikemanusiaan kepada penduduk. Timbul keinginan untuk menantang para centeng, tapi Jarnpang masih berpikir akan nasib orang yang ditumpanginya. Jampang mengamati dengan cermat wajah para centeng dan bertekad akan membalas perbuatan mereka dikemudian hari.
Selama menumpang dirumah itu, Jampang berkenalan dengan gadis kampung tersebut. Jampang menjalin tali kasih dengan wanita di kampung itu, kemudian berniat membina rumah tangga. Jampang menyampaikan isi hatinya wanita tersebut setuju, kemudian si empunya rumah diminta untuk melamar orangtua wanita tersebut.
Jampang menikah dengan gadis Kebayoran Lama dan pindah menetap dirumah mertuanya. Oleh mertuanya, Jampang diberi sebidang tanah untuk digarap. Bersama isterinya, Jampang menggarap tanah, menanami lahan dengan bibit padi, kacang dan kelapa. Selain menggarap tanah, Jampang juga menjual hasil kebun mertuanya ke pasar Tanah Abang. Isterinya hamil kemudian melahirkan seorang anak laki-laki diberi
 Nama Jampang muda. Wajah anaknya sangat mirip dengan dirinya, ibarat pinang dibelah dua. Jampang sangat gembira, kegembiraan yang tidak terkatakan. Setiap selesai bekerja di kebun atau menjual hasil kebun di pasar, Jampang selalu bercanda dengan anaknya.
Sekalipun Jampang memiliki ilmu silat yang tinggi, tetapi ia pun terkena tagihan dari centeng tuan tanah Kebayoran. Sebenarnya Jampang ingin melawan, tetapi memikirkan anaknya yang masih disusui isterinya
Jampang mengalah, membiarkan para centeng beraksi didepan matanya.
" Mane pajak lu, cepat ! " hardik centeng padanya.
" Ini bang! Jampang menyerahkan uang beberapa sen pada centeng tersebut.
"Lu memang penduduk yang taat.
" Aye bang" Jampang berpura-pura seperti orang bodoh
Ketika anaknya berusia 4 tahun, isterinya meninggal dunia. Jampang sangat sedih dengan kepergian isterinya. Ditatapnya mata anaknya yang kini tidak beribu lagi. mertuanya datang menggendong anaknya sarnbil berkata.
" Biarlah dia ame kami disini Pang."
"Aye nyak."
" Lu mau kemane Pang ?"
" Mau ke Tanah Abang nyak."
Jampang menitipkan anaknya kepada mertuanya, ia pergi ke Tanah Abang. Jampang memutuskan untuk mengambil kembali hak miliknya dan hak milik mertuanya serta penduduk yang diambil oleh para tuan tanah dan centeng secara sewenang-wenang. Jampang pergi ke Tanah Abang sambil melewati rumah para tuan tanah dan orang-orang kaya serta rumah para centeng.Sungguh sangat berbeda, rumah mereka penuh dengan perabotan mahal. Dari mana lagi kalau bukan dari hasil memeras penduduk.
Jampang di pasar Tanah Abang sampai menjelang Ashar. Kemudian pergi ke rumah seorang tuan tanah, mengamati dengan cermat keadaan rumah, berapa centeng yang menjaga, bagaimana jalan masuk yang tepat. Setelah itu Jampang pergi ke langgar, menunggu sambil sholat Maghrib dan Isya.
"Anak siape ? " tanya imam sekaligus ustadz langgar menyapanya
"Aye Jampang pak imam" jawab Jampang
" Anak dari mane? "
" Aye dari Kebayoran Lama"
" Ada keperluan apa singgah di kampung ini ?"
" Aye pengen ngambil milik aye yang dirampok tuan tanah", "Hati-hati nak, banyak jagoannya." .
" Pan aye punya penolong " " Siape ?"
" Nyang diatas, Allah "
Imam langgar geleng kepala. Jampang segera mengambil wudhu dan azan Maghrib. Kemudian shalat Maghrib berjamaah.
Selesai sholat, imam langgar mengajak Jampang makan di rumahnya. Jampang tidak menolak, mengikuti imam langgar menuju rumah imam langgar. Sambil jalan imam langgar berkata, "Malam ini ada pertunjukan di kampung sebelah, biasanye lewat Isya para centeng dan tuan tanah pergi".
"Terima kasih pak ustadz."
Setelah sholat Isya, Jampang bergerak perlahan mendekati rumah tuan tanah. Dari kejauhan terlihat kerumunan orang. Para centeng dengan golok di pinggang sambil menyulut rokok sebagian duduk, sebagian berdiri.
Kemudian keluar seorang yang barangkali tuan tanah. Kemudian kerumunan itu pergi dari rumah itu menuju ke kampung sebelah menonton pertunjukan Gambang Kromong.
Jampang dengan cermat mengawasi kepergian tuan tanah dan para centengnya. Setelah mereka berlalu beberapa saat, Jampang masih tetap di tempatnya untuk mengawasi keadaan rumah. kemudian keluar seorang lelaki, menutup pintu pagar lalu masuk kembali ke dalam rumah. Jampang bergerak perlahan-lahan sambil mengawasi keadaan sekitarnya. Suasana sepi, gemerisik angin dan suara jangkrik memecah kesunyian malam. Jampang melompati pagar rumah tuan tanah, kemudian merangsek maju mendekati jendela, menempelkan telinga pada kayu dan jendela. Terdengar suara perempuan sedang berbincangbincang didalam rumah.
" Nyak, kalung aye belon juge dibeliin kapan nyak ? "terdengar suara perempuan muda, mungkin anak tuan tanah.
" Entar kalo si Rochim ame babe lu, pasti lu punya kalung juga" ujar perempuan tua, mungkin isteri tuan tanah.
" Babe sih seneng ingkar janji, bukannya beliin untuk aye, tapi buat gendak-gendaknya. "
" Kagak bener lu omongin babe lu, durhaka nak."
" Biarin, abisnye aye kagak dibeliin gelang " " Sono tidur, pan udah malem "
Jampang bergeser ke jendela lainnya, memasangkan telinga untuk mendengar, tak ada suara apa-apa, mungkin sudah tidur. Dengan perlahan-lahan menggunakan tenaga dalam, Jarnpang membuka jendela lalu melompat masuk. Seorang lelaki yang sedang tidur ayarn tersentak bangun,Jampang dengan sigap membekuk laki-laki itu untuk tidur kembali, sebuah pukulannya membuat lelaki itu terkulai layu tak berdaya. Jampang kemudian bergerak kekamar tidur tuan tanah. Tangannya mengetuk pintu perlahan-lahan, terdengar suara panggilan dari dalarn karnar.
" Siape, elu Min ?" tanya isteri tuan tanah.
"Aye nyah" ujar Jarnpang memalsukan suara" Ada ape sih? Lu mau nonton ?" " lye nyah "
Terdengar langkah menuju pintu, pintu terbuka, dalam waktu tak lebih dari dua detik, Jampang berhasil membekuk isteri tuan tanah. Goloknya ditodong ke Ieher isteri tuan tanah.
"Tunjukan mane lemari lu "Jampang mengarah isteri tuan tanah ke lemari di dalam kamar.
"Jangan !" ujar isteri tuan tanah.
" Lu teriak gue sabet leher lu."
Jampang membuka pintu lemari, ternyata terkunci. Jampang menekan ujung goloknya ke leher isteri tuan tanah.
" Ampun, " ujar isteri tuan tanah minta belas kasihan " Ambilin kuncinya, cepat!"
" Lepasin aye"
" Tidak, mana kuncinya ?"
lsteri tuan tanah menunjuk kearah kasur. Jarnpang mengarah isteri tuan tanah ke sisi kasur, kemudian mengangkat kasurnya, mengambil kunci. Kemudian Jampang mengikat isteri tuan tanah dan menyumpal mulutnya dengan kain.
Jampang membuka lemari, mengarnbil uang dan emas yang ada dalam lemari, kemudian uang emas dan beberapa potong kain sarung dikumpulkan dalam sebuah kain sarung. Lalu Jampang mendekati isteri tuan tanah, melucuti kalung,gelang serta cincin yang dipakai isteri tuan tanah.
"Hei perempuan, lu pikir semua bande ini milik lu?" ujar Jampang seraya menengadahkan kepala isteri tuan tanah dengan tangannya.
"Bande ini laki lu rarnpas dari rakyat, ini semua keringat penduduk, yang kerjanya setengah mati, lu enak-enak main rampas," ujar Jampang menatap tajam ke muka isteri tuan tanah.
Jarnpang kemudian keluar dari kamar tersebut, menutup pintunya perlahan-lahan, berjingkat ke arah kamar yang tempat ia masuk, melompat lewat jendeia kemudian mendekati pagar, lalu melompat keluar. Jampang melangkah waspada, tidak melalui jalan yang biasa dilalui orang. Ia mengambil jalan lewat tegalan sawah menuju ke Kebayoran. Jampang tiba di rumahnya saat hampir subuh. Selama perjalanan, Jampang membagi-bagikan sebagian rampasannya ke rumah-rumah penduduk miskin. Sampai di rumah, Jampang segera menyimpan sisa rampasan, lalu mengambil air wudhu, melaksanakan sholat subuh. Memohon ampun kepada Allah tindakan yang terpaksa dilakukan, kemudian tidur lelap. Setelah peristiwa tersebut, Jampang mencari tahu tentang tuan tanah tersebut semakin bengis dalam menagih pajak, tidak perduli keluhan penduduk mengapa tagihan pajak begitu cepat dari waktunya. "Pan pajeknye udah aye bed kemarin" ujar penduduk pada centeng.
"Diam lu, ngebacot gua golok " hardik centeng.
Jampang yang menyaksikan keadaan tersebut, tidak bisa menahan diri. Jampang menghadang beberapa orang centeng yang baru saja merampas dari sebuah rumah penduduk.
"Minggir lu bangsat ! " hardik centeng pada Jampang.
" Serahin semua bawaan lu " pinta Jampang.
 " Lu mau ngerampok ?"
" Emang kenape, lu juga ngerampok," ujar Jampang tenang.
Centeng-centeng segera mengayunkan goloknya ke arah Jampang. Dengan sigap Jampang melayani perkelahian dengan para centeng. Seorang centeng yang mencoba melarikan barang, segera dijegal Jampang. Perkelahian menjadi seru. Satu persatu centeng berhasil dilumpuhkan, kemudian Jampang melemparkan golok mereka ke rumput ilalang, lalu menghardik mereka.
" Bangun ! pergi atau gue cabut nyawa elu-elu"
Para centeng dengan susah payah bangun, kemudian terbirit-birit menjauh dari Jampang, kemudian hilang dari pandangan.
Penduduk segera berdatangan, Jampang melemparkan barang-barang rampasan dari centeng kepada penduduk. " Ambil yang kalian punya" ujar Jampang.
Para penduduk memilih barang mereka kemudian mendekati Jampang, sebagian berlutut ingin mencium kakinya.
" Jangan ! gue bukan Belande, bangun ! pulang kerumah masing-masing " seru Jampang.
" Terima kasih, Bang " penduduk memberi hormat. Kemudian Jampang berlalu dari tempat itu.
Jampang terus melakukan aksinya setiap malam ke rumah tuan tanah, rumah para centeng dan rumah orang kaya. Jampang terus berpindah tempat diantaranya Grogol, Pasar Ikan, Tanjung Priok dan Tambun Bekasi. Selain melakukan aksi perampasan malam hari, Jampang juga selalu menghadang para centeng yang menagih pajak atas penduduk. Karena aksinya, namanya dikenalluas oleh penduduk si Jampang dihormati dan dielu-elukan kehadirannya, sedangkan bagi para centeng,tuan tanah, demang dan Belanda, si Jampang sangat dibenci dan diburu. 
Penguasa penjajah mengerahkan polisi untuk mengintai si Jampang, tetapi karena ia selalu berpindah-pindah tempat operasinya, sulit bagi polisi Belanda menangkapnya, sementara jagoan centeng para tuan tanah tidak mampu membunuh Jampang dalam setiap perkelahian. Akibat keberhasilan yang selalu memihaknya Jampang digelari penduduk sebagai Si Jampang Jago Betawi.
Sehari harinya Jampang sangat memperhatikan anaknya. Anaknya dititipkan di rumah mertuanya. Setiap ada kesempatan Jampang mendatangi rumah mertuanya menemui anaknya. Baru setelah anaknya berusia diatas sepuluh tahun. Jampang mengajak tidur dirumah mereka, jika kebetulan menginap di rumah, jika Jampang beroperasi, anaknya dititipkan dirumah mertua. Jampang tak ingin mertuanya dan anaknya susah, karenanya Jampang tidak beroperasi dikampungnya. Jampang juga mengajarkan anaknya ilmu serta ilmu agama seadanya jika kebetulan di rumah. Anaknya tumbuh menjadi dewasa dan kekar. Mencapai usia 15 tahun, Jampang berkata pada anaknya.
"Eh lu tong, gua mau nanya ame lu. lu mau sekolah apa lu mau ngaji?" Tanya Jampang.
"Ngaji aye nggak mau, sekolah juga aye ogah. Aye kepengen belajar main pukul kaye babe".
"Lu jangan main pukul kaya bapak lu, kalau lu ogah semua, baekan lu kawin aje dah".
"Aye kagak mau kawin be, kalau gitu aye mendingan sekolah aje, kalau babe mau kawin, babe aja dah yang kawin". Jampang tertawa mendengarkan jawaban dan usulan anaknya
 "Kalo lu punya nyak lagi, gua punya kawan yang bernama Sarba di tanah perkembangan Tambun" kata Jampang. Jampang kemudian menyerahkan anaknya pada seorang guru ngaji. Setelah itu Jampang pergi ke tanah perkembangan menemui Sarba temannya.
Di tanah perkembangan Jampang di sambut oleh Si Ciput pembantu rumah tangga Sarba. Jampang gembira sekali karena akan bertemu temannya yang sudah lama berpisah.
"Eh Put kemana Sarba?" tanya Jampang antusias.
"Sarba pan udah meninggaI" ujar Ciput tenang menjawab pertanyaan Jampang. Jampang kaget bukan kepalang, Jampang bagaikan tak percaya pada pertanyaan Ciput.
"Hah! Masa iye Put, Sarba udah meninggal ??? kalo gitu istri Sarba si Mayangsari menjande ye Put?" Jampang berkelakar.
"Betul" jawab Ciput tersenyum.
"Wah, kebetulan sekali Put, gua sedang kagak punya bini, bini gua udah meninggal Put. Coba lu omongin ame Si Mayangsari. Put, ape mau die kawin arne gua?" Jampang minta Ciput untuk memberitahukan keinginannya pada Mayangsari.
Ciput masuk ke dalam rumah, sementara Jampang duduk di serambi rumah. Beberapa waktu kemudian Ciput dan Mayangsari menemui Jampang, Jampang tersentak bangun dan menyalami Mayangsari.
"Mayangsari ... Abang Sarba pergi kemane?" Jampang berpura-pura tidak tahu.
"Abang lu jangan ditanya, Sarba telah lama meninggal dunia" Mayangsari menjawab dalam nada sedih.
"Sakit apa abang Sarba kok aye nggak dikabarin" Mayangsari kemudian menjelaskan.






PUISI

IBU....


Air mata ibu
mengalir,
bila mendengar tangisan si kecil,
masih merah salutan darah kelahiran.
Biarpun penat bersabung nyawa,
senyuman tetap terukir
ceria memekar taman jiwa.
Segala puncak sengsara
hancur semerta,
selamat zuriat melihat dunia...

Air mata ibu
menitis lagi,
bimbang resah mengulit diri,
sepanjang malam berjaga gelisah,
kerana si kecil masih mentah
meraung sakit ditimpa musibah...

Hari itu,
air mata ibu
bergerimis lagi,
bukan kepiluan
tapi kebanggaan,
melihat permata digilap kejayaan
tak kering bibirnya dengan senyuman,
tak lekang lidahnya pujian kesyukuran...

Takdir tuhan siapa menyangka,
harap panas bertahan
sang hujan bertamu ditengah laman...

Tika ini,
air mata ibu
bergenang kelukaan,
hati tua robek
sarat calaran,
permata kebanggaan
hilang kilauan kemanusiaan,
didikan tinggi tiada pedoman,
akibat gelap hati iman
harta nafsu jadi panduan...

Kemuliaan ibu,
hilang
ditimbus padam,
insan mulia
yang sarat pengorbanan
ditinggal gersang...

Rintihan si ibu,
Kesepian...
Kesedihan...
Kekecewaan...

Bukan balasan jasa
pintaan jua,
cukuplah secebis kasih permata
sementara jasad bersisa nyawa
biar tenang menutup mata...


AKU RINDU IBU
Oleh Ferti Lestari

Ibu
Ketika aku di kandungmu
Ibu telah menopang seluruh hidupku
Bahkan ketika aku di lahirkan
Senyum itu terlukis nyata di bibirmu

Tanpa merasa lelah akan ku
Ketika aku mulai tumbuh dan merengek
Ibu sabar merawat dan menyayangiku
Dan ketika aku mulai tumbuh dewasa
Ibu tetap sabar menghadapi tingkahku
Tatkala aku berteriak di depan wajahmu yang lesu

Dan kini
Ketika ibu dan aku di pisahkan oleh jarak
Baru aku tersadar
Waktu yang dulu terbuang
Waktu yang dulu ku sia-siakan saat bersamamu

Waktu dimana peluhmu membasahi tubuhmu
Namun aku dengan congkaknya membentakmu
Dengan kasarnya aku memakimu
Dengan bodohnya aku ibu . . .
Aku yang tak pernah puas akan kerja kerasmu
Memikul keranjang sayur itu
Menjajakannya ke rumah-rumah
Tanpa merasa malu sedikitpun
Kau lakukan untuk memenuhi kebutuhanku

Ibu . . . .
Aku rindu belai lembut
Aku rindu berada di sampingmu
Aku rindu memelukmu

Ibu
Ingatkah saat kau mengusap air mataku
Aku ingin ibu mengusap air mataku seperti saat itu
Saat ibu merangkulku dalam kesedihan
Aku ingin di rangkul kembali olehmu

Ibu
Bisakah kau katakan pada NYA
Untuk memutar kembali waktu itu ibu
Aku ingin memelukmu ibu
Aku ingin mengusap air matamu
Air mataYang dulu menetes karna sikapku
Aku ingin menggantikanmu menggendong keranjang itu
Yang dulu selalu kau bawa mengelilingi kampong

Ibu
Aku ingin sepertimu
Yang tegar menghadapi kerasnya hidup ini
Yang berani berkorban demi buah hatinya

Ibu
Walau aku sering membentak dan memakimu
Tak pernah ada rasa benci di hatimu
Bahkan di matamu
Selalu terlukis akan kebesaran cintamu
Yang tertuang lewat pengorbananmu

Ibu
Masih pantas kah aku memanggilmu
Masih pantaskah aku menjadi anakmu

Ibu
Maafku pun tak pernah bisa menyembuhkan luka hatimu
Luasnya lautan tak kan bisa membalas kasih sayangmu
Bahkan dunia ini pun
Takkan pernah bisa menjadi penggantimu

Ibu
Izinkan aku memelukmu
Biarkan aku mengusap air mata lelah itu
Biar kini ku tanggung bebanmu
Sebagai wujud kecintaaku padamu

Walau semua itu
Takkan mungkin mengganti
Ribuan air mata yang kau teteskan
Jutaan rasa lelah yang kau rasakan
Karna aku yang tak pernah menyadari pengorbananmu

Ibu
Betapa bodohnya aku
Yang membiarkanmu lelah dan terluka untuk ku
Ibu
Kini …. Rasa sakit itu terasa amat pedih
Tatkala ibu tak lagi di sampingku

Maafkan aku ibu
Maafkan anakmu ini
Aku rindu ibu  



MENCINTAIMU MEMBUATKU LARA
Oleh Fatma DSR

Tak terasa hari demi hari..waktu terus berganti
.......Puluhan tahun telah berlalu
Masih saja kau menoreh luka untukku
Luka yang tak kunjyng sembuh...

Sudah sering kau ucapkan janji..tapi selalu kau ingkari
Seringkali ucapanmu..sungguh sangat mengguris hati ini
Entah sampai kapan kau tahu bahwa aku sangat menyayangimu..
Bahkan sedetikpun ku tak sanggup jauh darimu...

Kumemilih bertahan atas sikapmu ..karna rasa sayang ini
Sampai kapan kau sadari semua itu...
Aku hanya ingin hatimu,
kasihmu,sayangmu dan juga rasa
cintamu
Bukan kemewahan yang kuinginkan..

Hargailah perasaanku...Jagalah hatiku
Jangan sampai hati ini beku,karena kau tak acuh
Rindu ini menyakitiku..hingga relung hati terdalam..
Padahal mencintaimu membuatku lara..

Tapi kutak bisa lepas darimu,ku tak ingin tinggalkanmu..
Aku teramat sangat mencintaimu..
Aku ingin hidup denganmu 1000 tahun lagi
Mungkinkah kau tahu semua itu...?

SEJARAH




Inilah Istana Niat Lima Laras. Sebuah situs peninggalan sejarah masyarakat Melayu pesisir. Istana ini lebih dikenal dengan nama Lima Laras. Meskipun namanya tidak sebesar dan tenar dari Istana Maimun di Medan, namun Istana yang dibangun pada tahun 1907 dan selesai 1912 ini, menyimpan kisah perjalanan dan perjuangan bangsa Indonesia, dimasa penjajahan Belanda. Terutama perjuangan masyarakat Melayu ketika itu.Mengunjungi dan melihat langsung kondisi Istana Lima Laras di Tanjung Tiram, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara seakan berada di masa lalu. Tak heran Istana penuh nostalgia dan kenangan, ini masih dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun manca negara, ketika memasuki hari libur dan hari-hari besar. Menuju Istana Lima Laras butuh waktu lebih kurang 3 jam dari pusat Kota Medan, atau lebih kurang 120 km melalui jalan darat Medan menuju Kabupaten Batubara. Sesampainya disana, kami pun bertemu dengan Amirsyah (35) suami dari Syamsiah (33)) anak ke 2 dari Datuk Muhammad Azminsyah (72), yang merupakan pemangku adat Melayu Istana Lima Laras saat ini. Datuk Muhammad Azminsyah adalah cucu dari pendiri Istana Lima Laras, Datuk Matyoeda, Raja ke XIII  dari Kerajaan Lima Laras. Singkat cerita, sejarah dan awal berdirinya Istana Lima Laras inipun semakin seru untuk ditelusuri.Sesuai dengan namanya, Istana Lima Laras berada di Desa Lima Laras, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batu Bara, Sumatra Utara. Walaupun sedikit terlihat usang, namun Istana Lima Laras masih berdiri kokoh, ditengah keberagaman dan kemajuan zaman saat ini. Bahkan umur Istana inipun telah mendekati 1 abad. Namun sayang istana yang sempat megah disepanjang abad 20 ini, kurang mendapat perhatian serius sebagai situs peninggalan sejarah budaya Melayu dan bangsa Indonesia .

Warna hijau dan sedikit kelihatan kusam pada bangunan Istana Lima Laras, seolah menjadi icon kemegahan Istana. Namun sayang itu hanya sebuah kiasan belaka. Bila kita memasuki bahagian dalam Istana Lima Laras ini, kondisinya sangat memprihatinkan. Lantai dan dinding bangunan Istana masih berbahan kayu, dan hampir sebahagian sudah lapuk tanpa perawatan bahkan rusak termakan usia. Padahal sesungguhnya bangunan Istana ini, sangat  mengagumkan. Hampir keseluruhan bahan bangunan Istana, menggunakan kayu ukiran bernuansa Melayu. Keseluruhan dinding, jendela, dan pintu, bentuknya sangat unik dan menakjubkan karena penuh dengan lukisan dan ukiran yang cantik.

Secara geografis, Istana Lima Laras menghadap ke arah Utara atau menghadap lautan. Istana ini memiliki empat anjungan dari empat arah mata angin. Sepintas bila dilihat dari depan, hampir mirip kapal yang berlayar di laut. Istana Lima Lima Laras memang masih terlihat megah, itu karena Istana ini dibangun dengan empat lantai di dalamnya. Lantai pertama terbuat dari beton, dilengkapi balai dan ruang atau tempat bermusyawarah masyarakat adat Melayu ketika masa pemerintahan Datuk Matyoeda. Di lantai dua, tiga dan empat terdapat sejumlah kamar dengan ukuran sekitar 6 x 5 meter. Kamar-kamar ini biasanya juga digunakan untuk para tamu kerjaan, yang datang berkunjung ke Istana Lima Laras. Sehingga jangan heran kalau Istana termegah di zaman kolonial Belanda ini, paling banyak pintu dan daun jendelanya. Ada sekitar 28 pintu dan 66 pasang daun jendela di Istana ini. Untuk melihat lebih jelas dan detail lagi tentang Istana Lima Laras, kami pun di ajak oleh Amirsyah (35) menantu dari cucu Datuk Matyoeda berkeliling diruangan dalam Istana. Didalam ruangan tengah, terlihat sebuah tangga dengan model berputar yang terbuat dari kayu, tangga ini terlihat begitu indah. Seni ukiran dan model tangga, sudah menggunakan model dari Eropa. Namun 27 anak tangga diruangan Istana, juga masih berbahan dasar kayu. Inilah keunikan dan keistimewaan Istana Lima Laras. Namun sayang bila ingin berkunjung ke Istana yang pernah megah ini, jangan bayangkan masih bisa melihat tangga putar itu masih utuh. Beberapa anak tangga ada yang sudah rusak dan patah. Harus hati-hati bila ingin menuju ke lantai dasar Istana. "Konidisi istana memang sudah banyak yang rusak, namun perbaikan terus dilakukan pihak keluarga kami untuk menjaga keutuhan Istana.Renovasi terakhir dibantu oleh pemerintah Asahan tahun 1980 an dengan biaya perbaikan Rp 234 juta", terang Amirsyah kepada Medan Bisnis.
Padahal upaya melestarikan istana sangat penting mengingat sejarah dan nilai budaya yang dikandungnya. Istana Lima Laras tidak dihuni lagi. Malam hari, tidak ada penerangan berarti. Halaman istana juga ditumbuhi semak yang tingginya bisa mencapai satu meter lebih Terakhir kira-kira tahun 1998 dilakukan rehap genteng, selanjutnya karena kondisi keuangan keluarga, rehap Istana pun dilakukan secara kecil-kecilan.
Selain bangunan dan lantai Istana yang mulai usang, Singgasana dan perlengkapan ruangan Istana Lima Laras juga sudah tidak terliha lagi. Namun bukan rusak atau terjual, tetapi pihak keluarga kerjaan terpaksa harus menyimpan dan merawatnya agar tidak rusak. Datuk Muhammad Azminsyah (72) cucu kandung Datuk Matyoeda. Beliau beruntung masih menyimpan beberapa barang pusaka perlengkapan Istana milik kakeknya. 
Seperti tempayan besar dengan ukiran naga, sejumlah barang pecah-belah, dua buah pedang dan sebuah tombak. Barang itu disimpan di rumahnya yang berjarak sekitar 100 meter dari istana. Istana Lima Laras sekarang ini memang tengah dalam tahap perbaikan. Lantai satu dan dua bagian belakang istana sudah diperbaiki dan dicat.
Perbaikan kecil itu sifatnya hanya menunda kehancuran, sebab bangunan utama di bagian depan masih berantakan. Dinding-dinding sudah bercopotan papannya, demikian juga atap dan lantai. Beberapa tiang penyangga yang terbuat dari kayu pun bernasib serupa. Menurut Maddin, 70, yang sehari-hari menjaga istana tersebut, biaya perbaikan itu berasal dari pihak keluarga. "Bantuan pemerintah sudah lama tidak ada. Kalau hari-hari libur seperti lebaran, ada tambahan biaya perbaikan dari kutipan masuk Rp500 per orang," kata Maddin. Di depannya ada bangunan kecil tempat dua meriam berada. Hampir keseluruhan bangunan berarsitektur Melayu, terutama pada model atap dan kisi-kisinya. Akan tetapi ada juga beberapa bagian istana berornamen China. Kecuali batu bata, bahan bangunan seperti kaca untuk jendela dan pintu didatangkan dari luar negeri.

Istana Lima Laras berada di atas tanah seluas 102 x 98 meter. Pendirinya Datuk Matyoeda, Raja ke XIII  dari Kerajaan Lima Laras yang lahir pada tahun 1883 dan akhirnya wafat pada tahun 1919. Tepatnya 7 tahun Istana Lima Laras berdiri dan menjadi pusat pemerintahan di Batubara. Makamnya pun masih dapat kita lihat dikawasan Istana Lima Laras. Datuk Matyoeda adalah putra tertua dari Raja sebelumnya, yakni Datuk H. Djafar gelar Raja Sri Indra. Menurut sejarah, kerajaan Lima Laras diperkirakan telah ada sejak abad ke XVI, dan tunduk pada Kesultanan Siak di Riau. Semula istana ini bernama Istana Niat Lima Laras, karena rencana pembangunannya berdasarkan niat Datuk Matyoeda untuk mendirikan sebuah istana kerajaan. Sebelumnya  pusat pemerintahan, sering berpindah-pindah karena belum punya istana yang permanen.
 Niat Datuk Matyoeda untuk mendirikan istana bermula dari keputusan Belanda yang melarang para raja berdagang. Tidak jelas alasan larangan ini. Matyoeda yang kerap berdagang ke Malaysia, Singapura dan Thailand dan memiliki kapal besar tentu saja gusar. Apalagi pada saat keputusan keluar, beberapa armada dagangnya sedang berlayar ke Malaysia. Dengan adanya larangan ini, nasib kapal bersama isinya itu tidak terjamin lagi. Bisa disita Belanda setibanya kembali di Asahan, atau bisa tetap tinggal di Malaysia yang dulu masih bernama Malaka.
Matyoeda berniat, jika dagangan terakhirnya selamat, hasilnya akan digunakan membangun istana. Rupanya kapalnya kembali dengan selamat. Maka dia kemudian membangun istana itu dengan biaya 150.000 gulden dan memimpin langsung pembangunan istana dengan mendatangkan 80 orang tenaga ahli dari China dan Pulau Penang, Malaysia serta sejumlah tukang dari sekitar lokasi pembangunan istana. Matyoeda bersama keluarga dan unsur pemerintahannya mendiami istana sejak 1917, walaupun pada saat itu istana masih belum rampung. Waktu wafatnya pada 7 Juni 1919, sekaligus penanda berakhirnya masa kejayaan kerajaan Lima Laras. Tahun 1942 tentara Jepang masuk Asahan dan menguasai istana.Kekuasaan Jepang di Indonesia sejak Maret 1942 hingga 1945 mengakibatkan keadaan yang semakin carut-marut. Tiga hari setelah jatuhnya bom di Hiroshima, Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Di saat yang sama pula, diumumkanlah pemerintah Republik Indonesia dengan Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakilnya. Dengan demikian, dimulailah revolusi republik di seluruh wilayah Indonesia. Sebagian raja dan kesultanan dihabisi para kaum nasionalis dan bala tentara Jepang.Keluarga Kesultanan Deli dan Serdang terselamatkan berkat penjagaan tentara Sekutu yang sedang bertugas di Medan untuk menerima penyerahan dari Jepang. Sementara di Serdang, beberapa orang keluarga raja sedari awal telah mendukung rakyat menentang Belanda. 
Akan tetapi, di Langkat, Istana Sultan dan rumah-rumah kerabat diserang dan rajanya dibunuh bersama keluarganya termasuklah penyair besar Indonesia, Tengku Amir Hamzah yang dipancung di Kuala Begumit. Keganasan yang paling dahsyat terjadi pada bulan Maret 1946 di Asahan dan di kerajaan-kerajaan Melayu di Labuhanbatu seperti Kualuh, Panai dan Kota Pinang. Di Labuhanbatu, daerah yang paling jauh dengan Kota Medan tidak dapat dilindungi asukan sekutu. Istana raja dikepung dan raja-rajanya pun dibunuh seperti Yang Dipertuan Tengku Al Haji Muhammad Syah (Kualuh), Sultan Bidar Alam Syah IV (Bilah), Sultan Mahmud Aman Gagar Alam Syah (Panai) dan Tengku Mustafa gelar Yang Dipertuan Besar Makmur Perkasa Alam Syah (Kota Pinang).
Masa Agresi Militer II, istana Lima Laras kembali ke tangan Republik dan ditempati Angkatan Laut Republik Indonesia di bawah pimpinan Mayor Dahrif Nasution.
Inilah peninggalan raja-raja tempo dulu, yang kini sulit dilestarikan, karena pemerintah sama sekali kurang memerhatikan cagar budaya nasional. Budaya, sesungguhnya bisa dijual untuk kepentingan bangsa dan negara, lewat wisata budaya yang ditinggalkan para sultan atau raja-raja tempo doeloe.


SEJARAH KABUPATEN BATUBARA 




Wilayah Batu Bara telah dihuni oleh penduduk sejak tahun 1720 M, ketika itu di Batu Bara terdapat 5 (lima) suku penduduk yaitu “Lima Laras, Tanah Datar, Pesisir, Lima Puluh dan Suku Boga”. Kelima suku tersebut masing-masing dipimpin oleh seorang Datuk yang juga memimpin wilayah teritorial tertentu. Ketika itu Batu Bara menjadi bagian dari kerajaan Siak dan Johor. Untuk mewakili kerajaan Siak dan mengepalai Datuk-Datuk seluruh Batu Bara diangkat seorang Bendahara secara turun temurun. Setiap Datuk kepala suku mendapat pengangkatan dan capnya dari Sultan Siak. Susunan pimpinan Batu Bara pada waktu itu ialah Bendahara dan di bawahnya terdapat sebuah Dewan yang anggota-anggotanya dipilih oleh Datuk-Datuk kepala suku bersama-sama. Anggota Dewan ini adalah: 1. Seorang Syahbandar, tetap dipilih orang yang berasal dari suku Tanah Datar. 2. Juru Tulis, dipilih yang berasal dari suku Lima Puluh. 3. Mata-Mata, dipilih orang yang berasal dari suku Lima Laras. 4. Penghulu Batangan, dipilih orang yang berasal dari suku Pesisir. Nama Batu Bara (Batubahara) sudah tercantum dalam literatur di abad ke-16 yang membayar upeti kepada Haru. Laporan Pemerintah Inggris dari Penang, Jhon Anderson, mengunjungi Batu Bara pada tahun 1823 dalam bukunya “ Mission to The Eastcoast of Sumatra” sebagai berikut: “Di hulu sungai Batu Bara ada sebuah bangunan batu yang tidak ada tercatat bila dibangun di kalangan penduduk. Bangunan itu dilukiskan sebagai bentuk empat persegi, dan di salah satu sudutnya ada tiang yang sangat tinggi, mungkin tiang bendera. Lukisan relief manusia diukir di dinding, yang mungkin dewa-dewa Hindu .....”. Menurut Shadee, dalam bukunya “Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust”, pada permulaan kedatangan Belanda ke Sumatera Timur di tahun 1862, wilayah Pagurawan dan Tanjong berada langsung di bawah jajahan Datuk Lima Puluh dari Batu Bara yang kemudian tunduk pula kepada Siak. Dalam tahun 1885, Pemerintah Hindia Belanda membayar ganti rugi kepafa Pemerintah Kerajaan Siak sehingga kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur Lepas dari kerajaan Siak dan berhubungan langsung dengan Pemerintah Hindia Belanda yang diikat dengan perjanjian Politik Contract (27 pasal). Perjanjian Politik Contract tersebut meliputi beberapa kerajaan seperti Langkat, Serdang, Deli, Asahan, Siak, Pelalawan (Riau), termasuk juga kerajaan-kerajaan kecil seperti Tanah Karo, Simalungun, Indragiri dan Batu Bara serta Labuhan Batu. Pada tahun 1889 residensi Sumatera Timur terbentuk dan beribukota di Medan, residen Sumatera Timur ini terdiri dari 5 (lima) Afdeling yaitu: 1. Afdeling Deli yang langsung di bawah Residen di Medan. 2. Afdeling Batu Bara berkedudukan di Labuhan Ruku. 3. Afdeling Asahan berkedudukan di Tanjung Balai. 4. Afdeling Labuhan Batu berkedudukan di Labuhan Batu. 5. Afdeling Bengkalis berkedudukan di Bengkalis. Wilayah Batu Bara saat itu merupakan Afdeling (Kabupaten) tersendiri beribukota di Labuhan Ruku di samping Afdeling (Kabupaten) Asahan. Afdeling Batu Bara itu terdiri dari 8 (delapan) Landschap (setara dengan Kecamatan). Masing-masing landschap ini dipimpin oleh seorang raja. Di dalam Afdeling Batu bara termasuk di dalamnya wilayah Batak di perdalaman (Simalungun). Berdasarkan Sensus Penduduk yang diselenggarakan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1933, penduduk asli Batu Bara berjumlah 32.052 jiwa. Pada saat Indonesia merdeka wilayah Batu Bara berubah nama. Sebutan Landschap menjadi Kecamatan. Khusus Batu Bara lebih dahulu digelar namanya Kewedanan. Kewedanan Batu Bara beribukota Labuhan Ruku yang waktu itu membawahi 5 (lima) Kecamatan yaitu: Kecamatan Talawi, Tanjung Tiram, Lima Puluh, Air Putih dan Medang Deras. Hal ini terjadi hingga 4 (empat) masa kepemimpinan Kewedanan, nama Kewedanan dicabut sehingga yang ada hanya 5 (lima) kantor camat dan tergabung dengan wilayah Asahan dengan nama Kabupaten Asahan yang beribukota di Kisaran. Pada tahun 1969 masyarakat Batu Bara pernah membentuk Panitia Penuntut Otonom Batu Bara (PPOB) yang diketuai oleh Abdul Karim AS, seorang tokoh masyarakat dan pernah menjadi anggota DPRD Asahan. PPOB ini berkedudukan di Jalan Merdeka Kecamatan Tanjung Tiram, tetapi karena Undang-Undang Otonomi belum dikeluarkan Pemerintah sehingga perjuangan ini kandas sebelum berhasil terbentuk Kabupaten Batu Bara yang otonom. Pada era reformasi lebih kurang 30 tahun setelah terbakarnya kantor PPOB di Tanjung Tiram, dengan adanya Ketetapan MPR No.XV/MPR/1998 yang meminta kepada Presiden untuk dilakukannya penyelenggaraan Otonomi Daerah, tepatnya pasca lahir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang semakin mempertegas makna penyelenggaraan Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggungjawab serta membenarkan adanya pemekaran atau pembentukan suatu daerah menjadi lebih satu daerah, sebagaimana tertuang dalam pasal 6 ayat 2 yang berbunyi “Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah”. Undang-Undang ini menjadi landasan perjuangan masyarakat Batu Bara untuk kembali menuntut menjadi wilayah Batu Bara menjadi sebuah daerah Kabupaten yang otonom yang bisa mengatur dirinya sendiri dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dalam kemandirian. Badan Pekerja Persiapan Pembentukan Kabupaten Batu Bara (BP3KB) yang berkedudukan di Medan berupaya untuk meneliti dan menjajaki lebih lanjut kemungkinan terbentuknya Kabupaten Batu Bara yang otonom. Sejalan dengan itu di kecamatan-kecamatan lahir pula gerakan masyarakat yang menuntut dibentuknya Kabupaten Batu Bara yang menamakan diri sebagai Gemkara “Gerakan Masyarakat Menuju Kabupaten Batu Bara”. Kabupaten Batu Bara akhirnya terbentuk setelah pihak legislative (DPR-RI) dalam Sidang Paripurna pada hari Jum’at tanggal 8 Desember 2006 membahas tentang pembentukan Kabupaten Batu Bara dan dinyatakan syah menjadi sebuah Kabupaten melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Batu Bara di Propinsi Sumatera Utara dan Lampiran Negara Nomor 7 Tahun 2007. Sumber: Skripsi: Ahmad Akbar, NIM 03310664. Potensi Kabupaten Batu Bara Dalam Penentuan Ibukota Kabupaten. Medan : Jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu Sosial UNIMED. 2008. Geografis: Kabupaten Batubara merupakan pemekaran dari Kabupaten Asahan dimana tujuh kecamatan di Kabupaten Asahan dikurangi dan dipindahkan wilayahnya menjadi wilayah kabupaten Batubara. Kecamatan: Air Putih • Limapuluh • Medang Deras • Sei Balai • Sei Suka • Talawi • Tanjung Tiram Batas Wilayah: Utara Bandar Khalipah (Kabupaten Serdang Bedagai) dan Selat Malaka. Selatan Meranti (Kabupaten Asahan) dan Ujung Padang (Kabupaten Simalungun). Barat Bosar Maligas, Bandar, Bandar Masilam, Dolok Batunanggar (Kabupaten Simalungun) dan Tebingtinggi (Kabupaten Serdang Bedagai). Timur Air Joman (Kabupaten Asahan) dan Selat Malaka. Mengenal Lebih Dekat Kab. Batu Bara Pada tanggal 15 Juni 2007, Kabupaten Batubara resmi menjadi daerah tingkat II ke-26 Propinsi Sumut. Peresmian kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Asahan. Kabupaten baru ini terdiri 7 kecamatan, 98 desa, 7 kelurahan, dengan jumlah penduduk 374.715 jiwa, di mana 25.837 jiwa di antaranya warga miskin. Potensi dimiliki Kabupaten Batubara itu seperti, kelautan, pertanian dan perkebunan. Salah satu peninggalan atau lokasi sejarah tersebut yakni Kubah yang ada di Kecamatan Lima Puluh, merupakan daerah asal mula jadinya Batubara. Daerah Kubah ini merupakan lokasi makam Syekh Marabullah, merupakan pendiri Batubara. Potensi Ekonomi Kabupaten Batubara merupakan daerah potensial untuk berkembang menjadi daerah industri. Betapa tidak, daerah Kuala Tanjung, salah satu desa di Kab. Batu Bara, telah ditetapkan menjadi Daerah Ekonomi Khusus. Ini merupakan pengembangan wilayah industri dari KIM (Kawasan Industri Medan). Sebagai Pioneer berkembangnya wilayah ini adalah PT Indonesia Asahan Aluminium (INALUM), perusahaan patungan antara Perusahaan-perusahaan swasta Jepang dengan pemerintah Indonesia. Perusahaan peleburan aluminium ini merupakan pabrik peleburan aluminium satu-satunya di Asia Tenggara. Selain itu, mengikuti jejak PT INALUM, berdiri juga PT Multimas Nabati Asahan (MNA) yang memproduksi minyak goreng Sania. Kemudian muncul lagi PT Domba Mas, yang kini masih tahap konstruksi. Kini menyusul lagi beberapa perusahaan besar, yang mungkin akan beroperasi dalam waktu dekat ini seperi PLTU, PT Dairi Prima, PT AAA, dan lain sebagainya. Selain itu, Kab. Batu Bara kaya akan hasil laut dan pertanian. Banyak terdapat perkebunan yang terbentang di Kab. Batu Bara. Potensi Wisata Banyak sekali potensi wisata yang masih belum dikelola dengan baik di Kabupaten baru ini seperti: Danau Laut Tador Pantai Perjuangan Pantai Kuala Sipare Pantai Jono Istana Lima Laras Dll Kalau mau tahu lebih banyak tentang Kabupaten Batu Bara, silahkan datang saja langsung ke sana. Kira-kira 120 km dari Medan (3 jam perjalanan). Mau investasi? Ya Kabupaten Batu Bara lah tempatnya. Bahkan, para pengamat ekonomi mengatakan apabila Kabupaten ini dkelola dengan baik, Kabupaten ini akan lebih maju dari kabupaten induknya, Asahan.